Corona dan Masa Depan Bangsa
Athik Hidayatul Ummah, M.Pd., M.Si.
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
KORANNTB.com – Kini, hampir semua platform media sosial ramai bergunjing soal virus corona. Whatsapp dibanjiri pesan berantai yang nyaris sulit dibedakan mana informasi fakta dan palsu. Lalu lintas perjalanan informasi melaju dengan cepat. Menghadapinya melatih diri kita untuk berfikir kritis dan bersikap optimis. Karena setiap permasalahan ada solusinya. Setiap penyakit ada penawarnya.
Virus corona pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Kemudian dengan cepat merebak ke sejumlah negara, bahkan sudah ‘bertamu’ ke Indonesia dan ‘singgah’ ke beberapa kota. Mendengarnya orang merasa tegang, khawatir, dan panik. Sikap itu sah-sah saja, asal tidak berlebihan. Pasalnya, virus ini penyebarannya begitu masif dan tidak pandang bulu. Virus corona juga tak menghormati pangkat dan jabatan.
Ancaman pandemi corona telah mengubah rutinitas masyarakat. Beragam kegiatan bergeser ke dunia virtual. Hadirnya corona juga menghambat diskursus penting di negara ini. Misal pembahasan terkait omnibus law terhambat, RUU ketahanan keluarga yang sebelumnya viral tidak lagi didiskusikan di ruang publik, bahkan promosi wisata yang dianggarkan cukup besar terkendala. Narasi optimisme tahun ini lebih baik dari tahun 2019 terhantui oleh munculnya masalah virus corona. Artinya, ini menjadi titik berat bagi Indonesia dan dunia. Karena perekonomian global mengalami guncangan.
Lolosnya corona masuk ke Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia ‘tidak kebal’ terhadap virus ini. Namun, dengan serius dan sigap pemerintah menyusun strategi perlawanan terhadap corona. Beragam protokol dibuat untuk menekan laju penyebaran virus yang telah ditetapkan sebagai darurat bencana corona. Termasuk protokol kesehatan, komunikasi, dsb. Karena ini akan berdampak pada nasib dan masa depan warga, juga Bangsa Indonesia. Maka sinergitas pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk bersatu melawan corona.
Social distancing menjadi langkah taktis yang harus dilakukan oleh masyarakat. Kata ini menjadi tranding di jagad maya dengan #dirumahajadulu. Social distance yakni menjaga jarak sosial, mulai dari interaksi fisik hingga face-to-face. Masyarakat harus membiasakan mengurangi kegiatan berkumpul dan kontak dengan jarak dekat. Mengingat daya jelajah virus ini bergerak cepat. Barangkali ini akan menjadi kendala bagi masyarakat dengan kultur terbuka, suka berbaur dan berkumpul.
Pemerintah juga telah mengambil kebijakan sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona. Seperti kebijakan ‘merumahkan’ sebagian ASN (Aparatur Sipil Negara) atau work from home, yakni melakukan aktivitas kerja di rumah. Sebenarnya, wacana fleksibilitas kerja ASN tanpa bekerja di kantor pernah mengemuka pada tahun lalu dalam rangka menggiring sistem pemerintahan digital dan terintegrasi. Namun perangkat belum sempurna dan masih tahap uji coba. Dalam kondisi darurat corona saat ini, pelayanan publik akan bergantung pada dunia virtual.
Begitu juga dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah sampai perguruan tinggi juga dilaksanakan secara daring/online. Pengumuman kebijakan melakukan pembelajaran di rumah (learn from home) nampaknya disalahartikan oleh sebagian orang sebagai libur sekolah. Karena pengumuman yang tidak diimbangi dengan penjelasan yang memadai dan edukasi yang tepat. Akhirnya sikap keberterimaan terhadap informasi beragam. Misal: tidak ke sekolah, akan tetapi tetap beredar ke tempat publik dan keramaian.
Informasi yang parsial ini tidak akan membawa dampak positif atas ikhitar pencegahan sebaran virus corona. Kebijakan ‘libur’ empat belas hari dalam rangka untuk memotong rantai penularan virus corona. Waktu ini dianggap sangat berguna untuk memantau jika ditemui orang yang menunjukkan gejala serangan covid-19, dan dapat menghentikan penularan hanya pada orang tersebut, karena tidak kontak dengan banyak orang. Strategi ini juga dilakukan di banyak Negara dan berhasil menurunkan angka penyebaran corona.
Terkait dengan optimalisasi kebijakan belajar dari rumah dengan memanfaatkan media daring, maka dibutuhkan hak kesetaraan mengakses internet, misal ketersediaan jaringan, kecepatan, bahkan harga kuota internet, bila perlu gratis. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak terkait perlu ‘berbicara’ terkait langkah strategis ini. Agar waktu empat belas hari ini dapat dimanfaatkan secara produktif, terutama bagi insan akademik. Jika di kota besar, barangkali akses tersebut tidak menjadi kendala. Lantas berbeda dengan kondisi di kota-kota ‘yang tidak besar’. Karena kesenjangan sarana pendidikan virtual itu masih ada.
Melawan Hoax Corona
Seiring merebaknya virus corona yang kini telah masuk ke Indonesia, banyak informasi palsu yang kita temui di platform digital. Penyebaran berita hoax alias bohong masih menjadi primadona dalam wabah virus corona. Jika tidak berhati-hati, kita dengan mudah termakan hoax dan turut serta menyebarkannya.
Sejalan dengan teori Freud, bahwa manusia memang cenderung menyukai sesuatu yang bersifat dugaan, prasangka, atau selain fakta sebenarnya. Sehingga manusia lebih mudah menangkap konten negatif. Mereka hanya membaca judul yang provokatif dan tidak peduli pada kebenaran konten.
Kini, informasi yang dianggap benar sulit ditemukan. Survey Mastel (2017) dari 1.146 responden, 44,3% menerima hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Hoax banyak beredar di masyarakat melalui media online. Saluran yang banyak digunakan penyebaran hoax yaitu situs web 34,90%, aplikasi chatting (whatsapp, line, telegram) 62,8%, dan media sosial (facebook, twitter, instagram) 92,40%. Sementara menurut Kominfo, ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian.
Di Negara Eropa, berita bohong dianalogikan sebagai wirefire, artinya kawat api yang meluluhlantahkan. Artinya, berita bohong membawa dampak buruk dan kekacauan di masyarakat. Ragam dan kemajuan media komunikasi yang digunakan menyebabkan masyarakat bahkan Negara menghadapi efek hoax. Traffic komunikasi yang padat dan rumit menyebabkan berita hoax sebagai suatu tindakan konstruksi sosial sederhana, akan tetapi bisa menjadi musuh berbahaya.
Perihal virus corona di Indonesia, hingga 16 Maret 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan 232 hoax dan disinformasi. Artinya hoax menjadi ‘teman’ sehari-hari yang patut diwaspadai. Bahkan beberapa ibu rumah tangga harus berurusan dengan polisi, karena menyebarkan informasi palsu di media sosial dan menimbulkan keresahan publik. Jeratan sanksi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dapat menerkam siapa saja, bagi para penyebar hoax.
Informasi hoax semakin menambah kepanikan dan rasa takut yang berlebihan. Akhirnya masyarakat melakukan panic buying yaitu membelanjakan kebutuhan hidup dan medis secara berlebihan sebagai persiapan karantina karena kekhawatiran terhadap penyebaran virus corona. Di beberapa Negara, seperti Jerman, Inggris, Australia, Singapura, warga memborong ludes kebutuhan pokok, masker, toilet paper, hand sanitizer dan sabun. Sementara di Indonesia, tidak hanya produk tersebut, tapi juga memburu empon-empon (tumbuhan rimpang: jahe, kunyit, temulawak, dkk). Pantas saja harganya kini meroket, jauh lebih mahal dibandingkan harga daging ayam.
Kepanikan terjadi karena masyarakat belum seutuhnya teredukasi terkait dengan virus corona. Ditambah lagi adanya pesan berantai yang beredar di tengah masyarakat. Alih-alih mengambil langkah yang tepat, justru melakukan antisipasi yang keliru. Menurut Franklin D. Rososevelt, bahwa satu-satunya yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. Selaras dengan itu, Tedros Adhanom Ghebreyesus (Dirjen WHO) menegaskan bahwa musuh kita bukan virus, musuh kita adalah ketakutan, rumor, dan stigma. Kekuatan terbesar kita adalah fakta, penjelasan ilmiah, dan solidaritas.
Media sosial yang dimanfaatkan untuk menyajikan informasi yang tidak dilandasi fakta cenderung menimbulkan ketidakpastian informasi dan dapat membentuk opini publik. Pada akhirnya memunculkan keresahan masyarakat. Daya pikat komunikasi internet yaitu membebaskan informasi dan penggunanya bergerak tanpa batasan. Alih-alih dapat ditafsirkan berbagai prespektif penggunanya.
Adapun alasan sebagian orang ‘suka’ menyebarkan hoax karena budaya komunikasi kita selama ini terbiasa formal-normatif, di mana identitas sangat dibutuhkan. Sementara media sosial tanpa harus memberikan identitas, orang dapat mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Inilah yang menyebabkan ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang akan menyebarkannya.
Teknologi dan sosial media membantu mempercepat penyebaran hoax. Begitu besar kekuatan hoax untuk mengubah keadaan, dari tenang menjadi gamang. Oleh karenanya masyarakat harus memiliki kemampuan literasi digital. Masyarakat harus Saring sebelum Sharing. Informasi yang didapat harus dicek-ricek kebenarannya sebelum diforward.
Kita harus berbela rasa melawan corona, misal memiliki kepekaan, sikap empati, bijak menggunakan media sosial, kritis membaca informasi, dan tidak menyebar hoax. Bagian dari mencintai Indonesia adalah melawan hoax. Selain itu, sebagai warga Negara yang beragama, ikhtiar batiniyah juga perlu dijalankan. Semoga kita semua sehat dan selamat dari pandemi corona. Karena masa depan bangsa ada di tangan kita.