Oleh: Satria Madisa
(Aktivis Mahasiswa)

KORANNTB.com – Dalam tulisan Omnibus Law ‘Jalan Tol’ Investasi Rezim Jokowi yang telah dimuat di media nasional Ibtimes.id dan media lokal Koranntb, (4/4/20) penulis telah menguraikan dalil-dalil rasional berbasis pengalaman Pemerintah dan DPR RI, bahwa tak ada yang menghalangi Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) menjadi UU. RUU itu akan menjadi UU bukan karena tidak ada yang menghalangi. Melainkan Pemerintah dan DPR RI ‘solid’ mencari, mengejar, memangkas, bahkan menghajar penghalangnya. Sebagaiamana pidato ketatanegaraan presiden Jokowi, beberapa bulan lalu.

Sejak digulirkan diam-diam oleh Pemerintah, hingga disahkan secara resmi oleh DPR RI, di malam hari, (05/10/20) melalui rapat paripurna, penolakan publik menjadi arus ‘kegaduhan’ baru yang sangat luarbiasa hebat. Terbukti hanya ada dua partai politik: PKS dan Demokrat yang menolak RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker). Bahkan dalam rapat paripurna peresmian RUU itu menjadi UU, Demorat Walk Out dengan semua keganjilan pelaksanaan rapat paripurna itu. Disinilah argumentasi Dahlan Iskan dalam tulisannya: Menundukan Pemerintah menemukan keabsahaan menurut penulis. “Inilah pemerintahan paling kuat selama 22 tahun terakhir. DPR memberikan dukungan penuh kepada pemerintah. Mulai dari perubahan di KPK, UU Covid-19, dan terakhir Omnibus Law Cipta Kerja. Semua begitu mulusnya lolos di DPR.” (Lihat DISWAI.ID, Selasa 6/10/20).

Rezim Jokowi memang rezim yang sangat kuat secara politik. Kesenjangan antara partai politik (parpol) pendukung pemerintah dengan partai oposisi dalam perspektif ‘keberterimaan’ dan penolakan RUU Ciptaker menjadi UU menegaskan kekuatan politik rezim ini begitu perkasa. Ada jurang yang sangat dalam bila kita cermati dalam-dalam komposisi parpol pendukung dan komposisi parpol penentang Omnibus Law dalam rapat paripurna DPR itu dengan semua keganjilan-keganjilan sebagaimana dipraktikan penyelenggara urusan ketanegaraan kita.

Dari jumlah kursi Parlemen sebanyak 575 kursi, partai penentang RUU Ciptaker hanya ada dua yakni: PKS (50) dan Demokrat (54), dengan total 104 kursi. Sementara 7 Partai Parpol dengan rincian PDIP (128) Gerindra (78) Golkar (85) PKB (58) Nasdem (59) PAN (44) dan PPP (19) dengan total (471) kursi mendukung RUU Ciptaker menjadi UU.

Belum lagi upaya rezim Jokowi membendung ‘penolakan publik’ dari berbagai macam lapisan masyarakat seperti: Civil Society, pers, mahasiswa, koalisi masyarakat sipil (LSM/NGO) dan organisasi buruh dalam berbagai macam ‘sikap’ dan pendekata mewarnai panggung. Baik melalui pendekatan lembut (soft power) yang diduga melibatkan: BIN, Influenzer dan BuzzeRP juga pendekatan keras (hard power) melalui Kepolisian RI sangat marak terjadi. Bahkan anehnya, Kapolri dalam surat telegramnya Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 memerintahkan: Intai, Larang dan Lawan Narasi Penolak UU Cipta Lapangan Kerja (lihat: Tirto.id).

Berlembaganya Otorianisme

Keganjilan demi keganjilan dipertontonkan rezim Jokowi sejak awal. Di tataran formil (cara) RUU Ciptaker digodok pemerintah terlalu banyak ketimpangan. Bagaimana bisa sebuah RUU dibahas secara tertutup, tidak melibatkan masyarakat, tidak dapat diakses dan menghadirkan istilah baru ‘RUU Prioritas’ yang tidak ada dalam ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bisa menjadi sebuah UU.

Sedangkan di tataran materil (isi) terlalu banyak pasal-pasal kolonial diaktifkan, kesejahteraan rakyat terbaikan (buruh) lingkungan di pusaran bahaya, demokrasi terancam, dan HAM semakin terpinggirkan dan pemerintah pusat berpotensi merampas hadiah reformasi (Otonomi Daerah). Singkat kata undang-undang yang inskonstitusional.

Sebagai contoh: UU Ciptaker melegitimasi pengusaha dapat menikmati Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung 90 tahun. Padahal sebelum era omnibus law ciptaker ini: pengusaha hanya bisa mengantongi HGU 25 sampai 35 tahun. Dengan perpanjangan 25 tahun bila memenuhi sarat.

Di kententuan sebelumnya saja, penguasaan HGU telah banyak membunuh kehidupan masayarakar (perampasan lahan) dan kriminalisasi negara terhadap rakyat demi menjaga kenyamanan pengusaha.Tentu saja cukong-cukong diistimewahkan. Bagaimana bisa Sebuah UU dengan harapan selangit, membangun negeri dari pintu investasi diberbagai macam sektor, ‘maharnya’ harga diri republik. Nasib rakyat, lingkungan, HAM dan Demokrasi saja sudah terancam bahkan sebelum UU ini. Bagimana setelah UU ini disahkan?

Saat pembahasan Draf RUU Omnibus Law Ciptaker disembunyikan dari mata publik, artinya ada persekongkolan untuk menyembunyikan kebenaran dari mata publik. Saat nalar dan nurani publik dikangkangi dan hendak dijegal melalui pelbagai cara dengan pelbagai instrumen (pendekatan) artinya ada agenda ‘besar’ yang ingin diselamatkan. Kita dapat menduga, UU dipaksakan disahkan: mengabaikan rakyat dan masa depan lingkungan dengan mendompleng kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat iyalah pesanan-pesanan cukong multinasional untuk perut cukong-cukong dalam negeri.

Secara teori republik ini berhak bangga. Menyelesaikan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan, sebagaimana tujuan ‘teknis’ dari Omnibus Law berhasil. Menyederhanakan hukum. 79 UU ditinjau dan dirangkum dalam satu UU Ciptaker yang terdiri dari 11 kluster dari 1.244 pasal kerja-kerja yang luarbiasa.

Pemerintah tidak pernah risau penolakan yang enggan padam walau dipadamkan. Tidak peduli corona virus yang telah meretakan tubuh bangsa ini, demi omnibus law, seolah-olah bangsa ini tidak dihantam pendemik. Tidak peduli nalar publik. Beda dengan mahasiswa yang konsisten menolak dalam aksi, pendemi dijadikan dalik untuk menjegalnya. Demikian juga rencana mogok nasional buruh indonesia.

UU Ciptaker ialah pelembagaan otorianisme di Republik setengah demokrasi, setengah feodal ini. UU ini menurut penulis bukti bermekarannya otorianisme melalui UU. Pemerintah dan DPR nampaknya tidak percaya diri menjadi otorian tidak didukung ‘subtansi’ hukum, sebagaimana kebiasaan sebumnya otorian melalui ‘struktur’ dan ‘budaya’ hukum.

Padahal di era yang canggih ini, tanpa ‘subtansi’ (aturan) sekalipun ‘struktur’ dan ‘budaya’ hukum bisa diatur sebagaimana selera kekuasaan dan selera cukong-cukong itu. Buktinya kita punya konstitusi yang mengusung istilah langit (ketuhanan) hingga istilah bumi (keadilan sosial) tidak digubris, bahkan dikorbankan demi birahi-birahi jalang kekuasaan negara. Aneh menurut penulis, negara merasa perlu untuk menghadirkan kebijakan dengan memastikan kebijakan tidak ditentang, karena ada UU sebagai bassisnya.

Dalam teori hukum, tidak penting kualitas teks hukum, bila penegakan hukum itu baik. Teks berisi perintah ‘membunuh rakyat’ akan berubah menjadi ‘selamatkan rakyat’ saat penegakan hukum diisi oleh manusia. Namun, bila sebaliknya, penegakan hukum diisi bandit dan mesin, muncullah malapetaka. Sekarang bagaimana bila teks hukum jahat, bertemu penegakan hukum dan budaya hukum yang jahat? republik ini tidak ada lagi harganya. “Taruhlah konstitusi dikeranjang sampah.” Inikah yang dimaksud Pemerintah dan DPR mengsahkan RUU Ciptaker?

Kata pepatah: Ikan selalu busuk dimulai dari kepala. Saat kepala negara dan kepala pemerintahan bersekongkol dengan DPR untuk meminggirkan rakyat, maka seluruh alat-alat negara akan berlomba-lomba mengkonfiramasi. Inilah bahaya oligarki (cukong-cukong) itu. Kita hidup dalam suasana ini. Dengan atau tanpa UU Ciptaker.

Jegal UU Ciptaker

Civil Society lebih khususnya Koalisi Aksi Menyelamatan Indonesia (KAMI) penulis harapkan untuk mengajukan judicial review UU ini di Mahkamah Konstitusi. Pimpin kami mahasiswa dalam perlawanan ini secara sistemik.

Buruh selamat melaksanakan mogok nasional.

Terpelajar-terpelajar yang masih punya otak dan nurani jangan bungkam! Demikian koalisi masyarakat sipil LSM dan NGO yang masih punya otak dan nurani, kiprahnya dinantikan bhatin publik. Bhatin republik ini. Bila tubuh kita tersandra jarak dan virus, higga tidak bisa berkerumunan dijalan juang, media sosial harus menjadi pilihan terakhir untuk menyuarakan perlawanan. Medsos ini jalan lain perlawanan kita saat ini.

Tentu media-media massa yang masih konsisten sebagai penjaga ‘ruh demokrasi’ sangatlah diharapkan perannya. Di kekuatan pena jurnalis, ‘neraka tanpa perasaan’ yang menjadi tembok-tembok rezim, diharapkan informasi-informasi lain untuk melegahkan bati kami dari sumpeknya informasi-informasi yang bersumber dari kekuasaan.

Sementara organisasi-organisasi kemahasiswaan yang masih punya otak dan nurani juga dan setiap orang yang masih memiliki otak dan nurani tidak boleh tidak bergerak. Perlawanan harus bersinergi, meriahkan istana negara hingga pandopo bupati dalam perlawananan mahasiswa. Kepung DPR RI hingga DPRD Kab/Kota. Kita pernah gagal mendorong Perpu dari Presiden karena imbas revisi UU KPK. Apa yang terjadi? KPK benar-benar dilemahkan. Perlawanan menjegal UU Ciptaker tidak boleh gagal. Masa depan rakyat dan lingkungan terancam. Kita sedang berlari-lari menuju ‘negara gagal’. Kita tidak boleh membiarkan Republik ini tak ada lagi.

Sebab kita mahasiswa juga dalam keadaan bahaya. Ada ratusan ribu mahasiswa yang lahir dari rahim petani, buruh, nelayan. Tidak ada jaminan kita masih bisa sekolah apalagi melanjutkan dijenjang yang lebih tinggi saat UU Ciptaker mengeluarkan wabahnya. Wabah ini akan lebih berbahaya dari pendemik COVID-19.

Barangkali momentum ini, mahasiswa ditagih sejarah. Hadir diujung tanduk negeri, terjun menumbangkan tirani. Sebagaimana angkatan 1965 dan 1998. Barangkali ini saatnya kita berani mengucapkan Revolusi. Untuk menyelesikan revolusi Indonesia yang belum selesai itu. Barangkali inilah saatnya persatuan gerakan mahasiswa ditengah disparitasnya selama puluhan tahun terakhir bisa ditemukan formatnya.

Bahwa benar HMI, IMM, PMII, SMI, LMND dan lainnya memiliki kepentingan yang berbeda. Barangkali bukan kesalahan bahwa UU Ciptaker ini musuh bersama gerakan mahasiswa, yang mengikhlaskan atau memaksaakan hadirnya ‘pelangi gerakan mahasiswa’ untuk menumbangkan otorianisme yang dilembagkan ini. Bila kita semua ikut menyampah, kemana bhatin publik, rakyat, dan republik ini diperjuangkan..!!

Kata orang kebenaran selalu menang melawan kebhatilan. Apakah ini nyata adanya? kita berhak dan bertanggungjawab secara moral membuktikannya. Itu kesalahan ataukah kebenaran.

TOLAK dan JEGAL UU Ciptaker! Selamatkan Republik, Revolusi Harus Kita Mulai!