KORANNTB.com – Pengelolaan Rinjani Global Geopark diduga tidak melibatkan masyarakat adat di sekitar kawasan. Kearifan lokal setempat belum menjadi salah satu kekuatan pendukung perkembangan Rinjani Global Geopark yang sudah masuk dalam jaringan UNESCO Global Geopark sejak April 2018 silam. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai dampak keberadaan geopark belum bisa dirasakan hingga saat ini.

Ketua Kerukunan Masyarakat Adat Nusantara (Kermahudatara) Provinsi NTB, Khairunnisah menegaskan, pengelolaan Rinjani Global Geopark masih terkesan dilakukan sendiri oleh Pemprov NTB. Kepengurusan manajemen pengelolannya juga masih diatur oleh kekuasaan, sehingga progres yang nampak di lapangan hampir tidak kelihatan selama tiga tahun terakhir.

“Apa pembuktian (manfaat) Geopark Rinjani selama ini?, hampir tidak ada sama sekali,” tegas Khairunnisa yang dihubungi di Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021.

Khairunnisa menjelaskan, sejak proses assesment Rinjani menuju Global Geopark tahun 2017 lalu, pihaknya sudah mengusulkan agar komunitas dan dewan adat yang ada di kawasan penyangga Rinjani dilibatkan dalam mengelola Rinjani Global Geopark. Namun, sejak ditetapkan sebagai Global Geopark sejak April 2018 silam, ternyata dewan adat sama sekali tak dilibatkan.

Padahal, papar Khairunnisa, dewan adat yang paling mengerti kearifan lokal. Bukan saja tentang adat dan budaya masyarakat, tetapi juga tentang hubungan harmonisasi hubungan manusia dengan alam.

Ia mencontohkan, ada hal-hal esoterik di Gunung Rinjani yang sulit dipahami oleh awam. Misalnya soal bagaimana tata cara dan adab mendaki gunung yang harus benar-benar selaras dengan kondisi alam.

Menurut dia, jika dikelola dan dikemas dengan baik maka hal esoterik yang bersumber dari adat istriadat leluhur bisa menjadi potensi pariwisata dan ekonomi kreatif bagi masyarakat setempat.

“Mendaki Gunung Rinjani itu tidak boleh sembarangan, ada adab dan tata caranya. Salah satunya mengenakan gelang kain atau sapuk topi berwarna kuning. Nah, ini bisa menjadi produk ekraf bagi masyarakat, bisa dipasarkan untuk wisatawan yang ingin mendaki Rinjani,” katanya.

Khairunissa mengungkapkan, bagaimana tata cara dan adab mendaki yang kini mulai diabaikan dan sempat menjadi bencana gempa 2018 silam. Namun, ia akan menceritakan soal ini di lain kesempatan.

Inisiator Jejaring Pengembangan Desa Wisata Nasional ini menekankan, pengembangan Global Geopark Rinjani tidak bisa dilakukan dengan pendekatan proyek, tetapi harus kepada pendekatan partisipatif. Lebih banyak masyarakat yang dilibatkan, dan mengakomodir kearifan lokal.

“Sebab fungsi geopark sendiri untuk menjaga ekologi, wahana keilmuan, dan juga menjada adat budaya, heritage. Dan untuk adat budaya ini hanya dewan adat yang bisa memahami,” katanya.

Mengamati progres Rinjani Global Geopark tiga tahun terakhir, Khairunnisa mengaku kecewa. Sebab, manajemen pengelolaan didominasi oleh orang-orang baru yang cenderung tidak paham benar sejarah dan perjuangan saat NTB mengusulkan Rinjani masuk ke dalam jaringan Geopark Unesco.

Ia menduga ada praktik yang kurang baik dalam pengelolaan Rinjani Global Geopark. Menurutnya, masalah ini juga sudah dilaporkannya ke Menteri Koordinator Maritiman dan Investasi (Menko Marives) Luhut Binsar Panjaitan.

“Saya tahu semua itu dana-dana dari mana saja, dan kemana saja. Saya sudah laporkan masalah ini juga ke pak Luhut (Menko Marives),” ujarnya.

Meski tidak dilibatkan dalam pengelolaan Rinjani Global Geopark, Khairunnisa menegaskan, pihaknya tetap berbuat untuk kemajuan Rinjani dan Tambora di Pulau Sumbawa. Salah satunya dengan mendesain sebuah film tentang Tambora Menyapa Dunia.

“Saat ini saya fokus ke Tambora. Kita sedang mendesain film Tambora Menyapa Dunia di Jakarta,” katanya.

Sebelumnya progres Rinjani Global Geopark juga disoroti Camat Sembalun, Mertawi, karena hingga saat ini belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di Sembalun. Terutama dari aspek peningkatan ekonomi. (red)

Foto: Rinjani (Shutterstock)