Bima Banjir Lagi, Butuh Regulasi dan Saksi Tegas untuk Pembalakan Liar
OLEH NURHALIFAH
Fakultas Ilmu Sosial
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Samawa Rea
KORANNTB.com – Seperti diketahui dilansir dari mbojoinside kemarin Tepat pada Jumat, 02 April 2021 Kabupaten Bima kembali dilanda banjir bandang. Terdapat beberapa kecamatan yang terendam oleh banjir bandang.
Masyarakat harus tetap standby waspada terhadap meluapnya banjir yaitu di Kecamatan Madapangga yang terdiri dari Desa Campa, Woro, Monggo,
Kemudian, Kananga, Kaposigi, Kancoa rida dan Rato, Tonda, Rade, Ncandi, dan Tambe, di Kecamatan Bolo terdapat di Desa Timu, Bontokape, Darussalam, Sanolo, Sondo.
Kecamatan Monta terdapat di Desa Pela, Tangga, Monta, Sie, Simpasai, di Kecamatan Woha terdapat di DesaTente, Risa, Samili, Kalampa, Talabiu, Padolo, Penapali, hingga Godo harus tetap waspada luapan dari Dam Pela Parado dari arah selatan. Diketahui Banjir ini di sebabkan Intensitas hujan merata dan cukup lama yang terjadi di wilayah Kabupaten Bima dan sekitarnya.
Terlepas dari itu tragedi ini tidak ada henti-hentinya di wilayah NTB khususnya di Kabupaten Bima itu sendiri.
Bertahun-tahun kejadian ini akan terus terulang dan terulang lagi yang seharusnya tradisi penggundulan dan menebang pohon secara liar oleh masyarakat setempat harus segera dihentikan.
Akan tetapi karena kurang ketatnya regulasi dan sanksi yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat membuat masyarakat semena-mena dan membabi buta melakukan eksploitasi lahan secara berlebihan.
Pemerintah seharusnya mengeluarkan regulasi yang mengikat masyarakat agar tidak melakukan eksploitasi lahan secara berlebihan yang justru menimbulkan kerugian lebih besar dari pada keuntungan yang didapatkan masyarakat dari hasil cocok tanam yang dilakukan.
Walaupun memang secara teknis sudah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dengan berbagai cara sebagai solusi yaitu dengan penghijauan dengan menanam kembali hutan yang telah gundul, tapi itu tidak akan menghentikan masyarakat untuk berhenti membabi buta dalam mengeksploitasi lahan secara berlebihan.
Sifat keserakahan dalam diri manusia akan tetap melekat karena kurang ketatnya regulasi dari birokrasi atau pemangku jabatan sebagai aspek politik dalam pemerintahan yang akan menciptakan kebijakan seharusnya tahu dan peka terhadap tingkah masyarakat yang akan menimbulka dampak yang cukup mengalami kerugian yang besar.
Selain dampak kepemilikan privat yang menggantikan kepemilikan publik dalam pemanfaatan lingkungan berlebih oleh masyarakat terus bertambah, sehingga mendorong perilaku konsumtif masyarakat dengan memuaskan kenginannya yang mengeksploitasi lingkungan sehingga terjadi kerusakan alam.
Fenomena itu juga terjadi karena karena masih aparatur birokrasi pemerintahan setempat yang melakukan upaya legalisasi kebijakan dalam pemberian izin kepada masyarakat untuk melakukan penebangan hutan untuk bercocok tanam, selain itu memberikan izin juga memberkan perizinan barang publik dengan alasan peningkatan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi malah merugikan masyarakat setempat. Kondisi tersebut menjadika lemahnya peran pemerintah daerah dalam mengatur dan membatasi aktifitas ekonomi orang-orang yang bernaung dalam daerah berdampak negatif yang berlebihan bagi lingkungan, dan Masyarakat itu sendiri.
Sejauh ini menurut saya pemerintah daerah belum terlalu serius dan tidak aktif mengatasi konflik agrarian ini. Daerah cenderung mendiamkan konflik berlanjut dibanding menuntaskannya.
Ketika daerah berperan dan mengeluarkan regulasi yang represif dan menjadi pendukung kapitalis dengan alasan pembangunan kepentingan umum yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak masyarakat local dan mengakibatkan lahan masyarakat di renggut lalu masyarakat membabi buta mencari lahan baru dengan berbagai cara yang di lakukan.
Tawaran solusi dengan menempatkan aparat Birokrasi Daerah Bima menurut saya cenderung bersikap tegas terhadap konflik yang terjadi saat ini dengan menempatkan daerah ataupun bahkan negara seolah-olah satu-satunya problem solver terhadap konflik yang terjadi saat ini. (red)