Oleh: I Gusti Ketut Satria Bunaga, S.Tr (Observer Stasiun Geofisika Mataram)

KORANNTB.com – Masyarakat Pasaman Barat dikagetkan oleh gempa bumi berkekuatan magnitude 6,2 di pagi hari (25/2/2022). Gempa bumi yang ber-episenter di darat dan dangkal tersebut menyebabkan guncangan kuat hingga VI MMI (Mercally Modified Intensity).

Guncangan tersebut meluas dari daerah Pasaman Barat hingga Padang Lawas Utara di mana kerusakan bangunan, korban luka hingga korban jiwa tak bisa dihindari. Berdasarkan laporan terkini (27 Februari 2022) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa gempa bumi mengakibatkan korban jiwa 11 orang, 4 orang hilang, dan sekitar 1.421 bangunan mengalami rusak ringan hingga berat.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menginformasikan bahwa gempa bumi ini dipicu oleh sesar aktif di darat atau lebih tepatnya Sesar Besar Sumatera di Segmen Angkola bagian selatan. Sesar tersebut tercermin dari parameter gempa yang diinformasikan oleh BMKG yakni: magnitudo, kedalaman, posisi gempa, dan mekanisme sumber gempa. Catatan Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menyebutkan bahwa gempa kali ini merupakan gempa bumi merusak kesembilan di wilayah Sumatera Barat sejak tahun 1835.

Mungkin kebanyakan masyarakat hanya mengenal istilah “Megathrust” sebagai satu-satunya sumber gempa bumi di Indonesia, namun sebenarnya keberadaan sesar, khususnya sesar darat memiliki potensi yang tak kalah bahayanya. Secara umum, sesar atau patahan merupakan suatu bidang yang mengalami pergeseran. Sesar terjadi ketika batuan menerima seuatu gaya (menekan, menarik, maupun kombinasi keduanya) sehingga batuan tersebut tidak mampu lagi untuk menahannya dan akhirnya terjadilah pelepasan energi berupa gempa bumi.

Observer Stasiun Geofisika Mataram, I Gusti Ketut Satria Bunaga, S.Tr

Menurut Prof. Danny Hilman, sesar dikatakan aktif apabila masih bergerak dalam kurun 125.000 tahun terakhir. Pergerakan yang dimaksud diciri-cirikan dengan terjadinya gempa bumi.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Pemahaman Gempa Bumi

Sesar di Indonesia

Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 295 sesar aktif  yang mana sesar-sesar tersebut sebagian besar bersifat merusak. Sebagai contoh kejadian Gempa Bumi Karangasem-Bali 25 Oktober 2021 (Magnitudo 4,8). Gempa yang mengguncang hingga Pulau Lombok ini memiliki kedalaman dangkal (10 km) serta berlokasi di darat (8 km barat laut Karangasem). Gempa ini menimbulkan dampak merusak di dua kabupaten antara lain: Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Sejumlah 2.820 bangunan rusak, 132 luka-luka, 3 korban jiwa dan perkiraan jumlah kerugian hampir 67 miliar rupiah (Data BPBD Provinsi Bali).

Selanjutnya Gempa Bumi Sukabumi 10 Maret 2020 (Magnitudo 5,1). Pusat gempa dangkal (10 km), episenter di darat dan mekanisme pergerakan menggeser, para ahli sepakat gempa bumi tersebut terjadi akibat aktivitas sesar. Ratusan rumah rusak, korba luka-luka dan ratusan jiwa mengungsi berdasarkan laporan BNPB.

Penyebab Sesar Kerap Merusak

Beberapa contoh kejadian yang sudah dijelaskan sebelumnya, sejumlah sebab mengapa sesar acap kali  menimbulkan kerusakan dan bahkan korban jiwa. Faktor pertama adalah kedalaman pusat gempa yang dangkal serta lokasi episenter di darat. Kondisi ini akan diperparah ketika bangunan tidak berstandar dan  berada di sekitar pusat gempa. Selain bangunan rusak dan roboh, hal tersebut sangat memungkinkan untuk menimbulkan korban jiwa akibat reruntuhan  bangunan itu sendiri.

Selanjutnya adalah kondisi tanah setempat, di mana faktor ini mempengaruhi respon energi gempa yang merambat di atas permukaan. Jika tersusun lapisan lunak maka tanah akan mengamplifikasi atau menguatkan energi gempa dalam bentuk guncangan di atas permukaan.  Adapun efek domino yang terjadi jika pemukiman berada di lereng bukit, yaitu longsoran. Selain rugi materiil, kondisi ini sering merenggut nyawa. Baik rumah yang mengalami longsor maupun yang tertimpa longsor.

Seiring bertambahnya populasi dan infrastruktur, kerentanan pun semakin meningkat. Oleh karena itu pengembangan kapasitas wajib untuk direalisasikan. Dimulai dari pemahaman tentang bahaya akibat aktivitas sesar sampai penguasaan untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar. Kegiatan ini berdampak pada rasa peduli masyarakat untuk mengenal potensi bahaya yang ada didekatnya. Secara otomatis, masyarakat akan tahu informasi yang benar sehingga tidak gampang terpengaruh isu hoaks tentang ancaman gempa, tsunami dan prediksi.

Selain itu, hal tersebut dapat dijadikan referensi bagi pemerintah untuk merencanakan tata ruang dan letak bangunan yang lebih aman. Lantas berlanjut pada cara melakukan mitigasi yang dimulai dari lingkungan keluarga. Pada saat kondisi tersebut, peta evakuasi yang telah disepakati sangatlah membantu proses evakuasi mandiri secara efektif. Perlu adanya latihan outdoor secara berkala untuk ”membudayakan” kegiatan ini. Sehingga masyarakat tidak akan panik dan gaduh saat bencana terjadi.

Masyarakat kini tahu bahwa wilayah kita ternyata memiliki keragaman sumber bencana, tidak hanya soal megathrust melainkan juga sesar aktif. Masyarakat, pemerintah, dan akademisi diharapkan untuk bersama-sama bergerak untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dengan memadumadankan teknologi, sosial, dan budaya agar menciptakan keharmonisan hidup dengan fenomena ini.

Sebagai penutupan, inti dari kemitigasian bencana ini terdapat di masyarakat. Masyarakat paham potensi, dan paham informasi, sehingga masyarakat siap menghadapi bencana gempa dan ikutannya.