KORANNTB.com – Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) digemparkan dengan tingginya jumlah kasus kekerasan di pondok pesantren. Para santri menjadi korban kebejatan oknum pimpinan pondok pesantren.

Belum memasuki pertengahan tahun saja, sudah delapan pondok pesantren yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap santrinya. Tiga kasus di Lombok Timur, tiga di Lombok Barat dan masing-masing satu pondok pesantren di Kota Mataram dan Sumbawa.

Koordinator Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Joko Jumadi, mengatakan jumlah pondok pesantren bermasalah terhadap kekerasan seksual di NTB cukup mengejutkan dengan jumlah kasus tersebut.

“Ini cukup mengejutkan. Baru pertamakali dalam satu tahun sudah terjadi banyak kekerasan seksual dan bahkan di delapan pondok pesantren,” katanya.

Relasi Kuasa

Joko yang juga menjadi Ketua Lembaga Perlinduangan Anak (LPA) Kota Mataram dan Aktivis Sahabat Anak NTB mengatakan sebagian besar korban saat mengalami kasus kekerasan begitu kaget dan tertekan orang yang selama ini dianggap sebagai figur yang melindungi mereka justru menjadi pelaku kekerasan seksual.

“Banyak korban yang menyalahkan diri mereka sendiri, kenapa waktu itu tidak melawan. Kenapa tidak berteriak,” katanya.

Dia menggambarkan kehancuran hati para korban mengalami kekerasan seksual di tempat yang mereka anggap sebagai tempat paling aman bagi mereka berlindung, pondok pesantren.

Joko mengakui kondisi psikis para korban saat itu. Seluruh kasus kekerasan seksual dipengaruhi relasi kuasa dan tipu daya yang membuat korban sulit untuk berkehendak menolak.

“Kondisi itu terjadi karena adanya relasi kuasa dan tipu daya. Kuasa sebagai pimpinan pondok,” ujarnya.

Relasi kuasa di pondok pesantren sangat tinggi. Seorang santri harus terus mematuhi kehendak orang yang mereka sebut sebagai guru, karena merasa diri hanya penuntut ilmu dan guru adalah sumber ilmu.

Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap santri juga sering dilakukan dengan tipu daya. Sebut saja kasus di Lombok Timur yang menyetubuhi santri dengan iming-iming agar masuk surga, namun jika menolak maka orang tua santri terkena musibah dari Allah SWT.

Begitu juga dengan kasus di Lombok Barat, oknum ustaz mencabuli santri pria dengan iming-iming agar mereka mendapatkan berkah.

Membuka Diri

Sebagian besar pondok pesantren menutup diri saat terjadi kasus kekerasan di lingkungan pondok. Mereka meyakini bisa menyelesaikan kasus tersebut tanpa campur tangan pihak lain seperti LPA atau LSM yang menangani kekerasan pada anak.

Ada kabar positif datang dari dua pondok pesantren di Kecamatan Gunungsari Lombok Barat mau membuka diri dan meminta LPA untuk terlibat membantu menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

“Ini perlu kita apresiasi pondok pesantren mau membuka diri. Bahkan pondok pesantren ini mau menjadi pelapor di Polresta Mataram dengan bukti-bukti kesaksian korban dan CCTV,” kata Joko Jumadi.

Joko mengatakan membuka diri sangat penting untuk mencegah kasus kekerasan tersebut terulang kembali, karena dapat sama-sama mencari formulasi yang tepat untuk menghindari aksi kekerasan seksual.

“Seperti kota layak anak, bukan karena tidak ada kekerasan pada anak, tetapi bagaimana saat terjadi kekerasan kepada anak namun dapat ditangani dengan proses yang jelas dan tepat. Begitu juga di lingkungan pondok pesantren,” ujarnya.

Koordinator Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Joko Jumadi

Intervensi Politik

Joko membenarkan memang ada pihak yang ingin mencalonkan diri menjadi Bupati Lombok Timur pada 2024 berusaha untuk mengintervensi hukum dengan meminta kepolisian tidak mengusut salah satu pondok pesantren di Lombok Timur.

Alasannya hanya untuk mencari dukungan suara pada pondok pesantren. Jika pimpinan pondok tidak ditangkap, diduga ada kontrak politik untuk memenangkan calon.

“Saya akui intervensi politik cukup kuat. Itu menjadi problem karena ada yang ingin maju pada 2024,” ujarnya.

Ini menjadi hambatan dalam menyelesaikan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Bagaimana bisa orang yang ke depan berkeinginan menjadi kepala daerah namun justru melindungi para predator kekerasan seksual kepada anak.

Banyak Korban

Kasus kekerasan terhadap santri seperti fenomena gunung es. Tidak banyak santri yang mau melapor dengan berbagai pertimbangan. Mereka hanya memendam duka di hati mereka seumur hidupnya.

Seperti kasus yang terjadi di Lombok Timur, ada banyak korban yang sudah dewasa dan menikah sehingga malu untuk membuka diri demi menjaga rumah tangga mereka.

“Ada kita temukan korban-korban yang sudah alumni yang telah dewasa dan bahkan sudah menikah, ada juga sudah menjadi pekerja migran tidak mau bersuara karena kondisi itu tadi,” ujarnya.

Bahkan ada beberapa santri juga yang menjadi korban namun belakangan tidak ingin melapor. Diduga karena ada tekanan pihak lainnya.

Kasus seperti ini jika terus dibiarkan tidak akan menuntaskan kasus kekerasan seksual. (red)