KORANNTB.com – Nelayan merupakan garda terdepan bangsa yang turut memberikan sumbangsih untuk ketahanan pangan di Tanah Air. Tanpa mereka, ikan yang kaya akan sumber protein tinggi tidak akan tersedia di pasar.

Ironinya keberadaan mereka selama ini sering dipandang sebelah mata karena masuk dalam penyumbang angka kemiskinan. Kondisi ini menjadikan nelayan semakin tersudut, padahal pekerjaan mereka adalah pekerjaan menantang nyawa.

Saat ini, Provinsi NTB memiliki luas perairan laut hingga 29.159 kilometer persegi dengan panjang garis pantai 2.333 kilometer.  Sedangkan, jumlah  pulau-pulau kecil atau yang dikenal dengan Gili di Provinsi NTB, berjumlah sebanyak 403 pulau kecil

Hal itu, merujuk pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintah dan Pulau.

Rinciannya, Lombok Barat sebanyak 126 pulau; Lombok Tengah 44 pulau; Lombok Timur 65 pulau; Kabupaten Sumbawa 23 pulau; Kabupaten Bima 23 pulau; Dompu 58 Pulau; Kabupaten Sumbawa Barat 19 pulau dan Lombok Utara 3 pulau.

Guru Besar  Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), Prof. Dr. Ir. Sitti Hilyana, M.Si, mengatakan bahwa pihaknya mengherankan bahwa dengan adanya potensi perairan yang cukup besar yang berada di dua pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Sumbawa.

Namun sayangnya pengembangan pesisir, justru belum dioptimalkan dengan baik oleh Pemprov dan 10 Pemda kabupaten/kota di NTB hingga kini.

“Provinsi NTB itu, hampir 53 persen wilayahnya didominasi lautan. Tapi sayangnya pemanfaatan  lautan atau dikenal dengan kemaritiman untuk pembangunan peningkatan perekonomian masyarakat di bidang perikanan dan kelautan belum berjalan,” kata dia pada wartawan, Jumat (16/6) kemarin

Menurut Prof Hilyana, ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu warga pesisir nelayan di NTB masuk salah satu kluster penyumbang angka kemiskinan. Pertama, fasiltas perahu dengan mesin yang dimiliki nelayan sangat kecil.

Akibatnya, ruang gerak mereka untuk memperoleh hasil tangkapan hingga ke tengah lautan dengan resiko gelombang  tinggi, tidak bisa dilakukan.

“Dengan hanya memiliki perahu ketinting. Tentu para nelayan tidak mungkin ambil ikan terlalu ke tengah,” ucap dia.

Selanjutnya, penguasaan teknologi nelayan NTB relatif sederhana dengan pembagian hasil yang tidak adil antara buruh nelayan dengan pemilik kapal. Hal itu juga menjadi pemicu kemiskinan di wilayah pesisir.

“Kondisi ini juga termasuk sifat produk perikanan yang mudah lebih cepat rusak dan harganya yang tidak stabil. Salah satunya, garam  yang hanya berproduksi empat kali dalam setahun. Dan itu, juga kadang harganya sangat rendah,” ungkap Prof Hilyana.

Ia menjelaskan, jika potensi maritim yang dimiliki Provinsi NTB dapat dioptimalkan, maka angka kemiskinan yang disumbangkan oleh kluster nelayan akan bisa ditekan dengan signifikan.

Mengingat, di Provinsi NTB memiliki jenis ikan dan non ikan mencapai 3.500 jenis. Di mana, ikan ekonomis. Mulai tuna, kakap kerapu, lobster hingga rumput laut NTB, justru merupakan komoditas perairan laut terbaik di dunia saat ini.

Bahkan, karang hias NTB yang berjumlah sebanyak 175 spesies, adalah terlengkap di dunia. “Banyaknya, komoditas perairan yang di ekspor ke luar negeri. Mulai Jepang, Uni Eropa hingga pasar Asia itu, jelas menjadi pasar terbuka untuk menyejahterakan masyarakat pesisir. Sehingga, angka kemiskinan akan bisa ditekan lebih siginifikan kedepannya,” tegas Prof Hilyana.

Ia menegaskan, pemberdayaan masyarakat pesisir dengan mulai fokus meningkatkan SDM dan peralatan perairan tangkap, perikanan nelayan hingga hilirisasi produk perikanan, adalah jawaban untuk mengatasi kemiskinan di kalangan masyarakat pesisir.

Terlebih, dengan model perikanan yang open akses,  tentunya jika ada sentuhan Pemerintah daerah, maka masyarakat pesisir tidak lagi ada yang akan masuk kategori miskin.

Selain itu, lanjut dia, jika semua produk sumber daya laut yang melimpah itu bisa digali dengan optimal. Tentunya, potensi yang menembus angka triliunan rupiah per tahunnya, justru bukan isapan jempol semata.

“Ingat, NTB itu penghasil sekitar 7,1 persen  komoditas Kakap Kerapu nasional. Ini belum termasuk ratusan jenis karang hias. Utamanya, di Pulau Satonda di wilayah Pulau Sumbawa yang memiliki keunikan dan masuk spesies yang sangat digemari masyarakat Eropa,” tegas Prof Hilyana.

Berkaca dari hal itu. Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Unram, akan terus melakukan edukasi yang tidak henti-hentinya pada masyarakat pesisir di NTB.

Caranya, semua tenaga pengajar hingga mahasiswa yang melakukan KKN akan diarahkan untuk melakukan sosialisasi dan pemahaman pada masyarakat akan bahaya ilegal fishing dan praktik perusakan lingkungan lainnya. Salah satunya, dengan mencegah pengambilan mangrove secara besar-besaran.

Tak hanya itu, budidaya perikanan dengan mulai mengajarkan dan melakukan pendampingan pada masyarakat untuk mulai mengelola Karang hias di Sumbawa dan Sekotong hingga laboratorium riset dalam rangka pengembangan kawasan perikanan yang terintegrasi di perairan Kabupaten Lombok Timur dan di kampus juga sudah mulai dilakukan.

“Kami menyadari mengatasi kemiskinan di pesisir juga butuh kiprah nyata perguruan tinggi. Unram sudah memulai hal itu. Tinggal pemerintah daerah serius apa tidak untuk berkolaborasi mengembangkan kawasan  kemaritiman. Yang pastinya, peningkatan perekonomian masyarakat pesisir menjadi lebih baik, harus mulai dilakukan jika ingin predikat daerah kantong kemiskinan bisa mulai berkurang ke depannya,” tandas Prof Hilyana. (red)