“Apa iya karena belum cukup bukti untuk mentersangkakan yang lain, ataukah sudah ada dugaan gratifikasi atau pemerasan terhadap saksi saksi saat FB (Firli Bahuri) menjabat Ketua KPK, yang menyebabkan  kasus ini seolah dilokalisir dengan menempatkan HML sebagai tersangka tunggal,” katanya yang juga menjabat Koordinator Komunitas P 55 J NTB ini.

Dia mengatakan, memperhatikan pasal yang diterapkan KPK terhadap Lutfi yakni Pasal 12 huruf i dan/atau pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tipikor, sangat mustahil tindak pidana tersebut bisa diwujudkan sendiri oleh Lutfi tanpa bantuan pihak lain.

Kemudian, perkara ini berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, yang sudah pasti melibatkan kumpulan banyak orang dalam satuan kerja dan kepanitiaan.

“Orang orang ini semestinya dapat didudukkan sebagai pelaku penyerta. Apakah perannya hanya sebatas membantu atau bersama sama dengan HML mewujudkan tindak pidana,” ujar Sutrisno Aziz.

Hal yang sama juga dalam penerapan pasal 12B UU Tipikor sebagai penerima gratifikasi, semestinya ikut  ditersangkakan pula pemberi gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor. Itu karena gratifikasi baru bisa terwujud setelah adanya interaksi langsung atau tidak langsung antara pemberi dan penerima gratifikasi.