KPK menjadi macan ompong. Pelemahan lembaga antikorupsi ini dimulai dari pimpinannya. Ada juga pertanyaan tentang rekrutmen komisioner yang komitmennya terhadap pemberantasan korupsi bermasalah. Komisioner lainnya telah berulang kali melanggar kode etik, bahkan ada yang memilih mengundurkan diri agar tidak dipecat. Undang-undang yang diduga korup berhasil disahkan karena tidak mendapat pengawasan dari KPK.

Ada pola penyusunan undang-undang yang dilakukan secara rahasia dan tergesa-gesa sehingga tidak melayani kepentingan publik. UU KPK, UU Pertambangan, Omnibus Law, dan UU MK adalah contohnya. Hasilnya adalah demonstrasi. Setiap tinjauan yudisial biasanya ditolak oleh orang-orang yang sama yang mengesahkan undang-undang tersebut.

Upaya DPR untuk menguasai lembaga antikorupsi semakin terlihat jelas, terutama dalam proses perekrutan anggota lembaga-lembaga tersebut. Anggota parlemen mengganti seorang hakim konstitusi karena dianggap bertentangan dengan agenda parlemen setelah ia membantu membatalkan pengesahan Omnibus Law.

Cara untuk menghentikan erosi upaya anti-korupsi di Indonesia harus datang dari atas. Namun, Presiden Joko Widodo tampaknya tidak mengambil langkah yang serius. Masyarakat akan mengingat warisannya sebagai pengabaian Orde Reformasi, kecuali jika ia mengambil langkah radikal sebelum meninggalkan jabatannya pada tahun 2024.


Charles Simabura dan Haykal adalah peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas Indonesia.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan tanggal 1 Desember 2022 di bawah lisensi Creative Commons oleh 360info™.