Polres Lombok Tengah Mulai Usut Kasus Penganiayaan Jurnalis
KORANNTB.com – Polres Lombok Tengah mulai mengusut kasus penganiayaan terhadap seorang jurnalis di Lombok Tengah. Saat ini penyidik melakukan proses pemeriksaan terhadap korban sebagai langkah awal menuju proses lebih lanjut.
“Sudah. Sedang kami lakukan proses pemeriksaan,” kata Kasatreskrim Polres Lombok Tengah, IPTU Luk Luk il Maqnun, Kamis malam, 16 Oktober 2025.
Dia mengatakan usai pemeriksaan korban, maka akan dikembangkan dengan pemeriksaan saksi-saksi lainnya.
“Iya, nanti baru berkembang ke saksi-saksi yang lain,” ujarnya.
Terkait adanya potensi penggunaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai delik, IPTU Luk Luk enggan berspekulasi. Dia menjelaskan pasal akan ditentukan usai proses penyelidikan nanti.
“Kami lakukan proses penyelidikan terlebih dahulu ya,” katanya.
Sebelumnya, seorang jurnalis Gatrantb, Surya Widialam menjadi korban penganiayaan saat tengah menjalankan tugas jurnalistik di Kantor Bupati Lombok Tengah usai perayaan HUT Lombok Tengah, pada Rabu 15 Oktober 2025.
Kronologi kejadian, korban mengaku didatangi oknum LSM saat meliput acara HUT Lombok Tengah, di Kantor bupati setempat.
“Saya digeret menuju basement. Di sana, saya dikerumuni dan diminta hapus berita. Saya juga ditampar,” ujar Widi.
Widi menjelaskan berita yang dimaksud, soal pemberitaan batal demo di PDAM Lombok Tengah beberapa waktu lalu.
Oknum LSM tersebut merasa keberatan lantaran dianggap menjadi massa tandingan demo. Sementara klaimnya, hanya datang duduk ngopi.
Widi mengaku sangat tertekan dan terintimidasi dengan kejadian itu. Tak hanya mendapat sumpah serapah, pelaku mengajaknya berduel.
“Psikis saya terganggu atas peristiwa memilukan itu,” jelas Widi.
Aksi kekerasan terhadap jurnalis tersebut mendapat banyak kecaman dari organisasi media.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) NTB, Haris Mahtul, mendesak Polisi mengembangkan penyelidikan kasus ini tidak sebatas berdasarkan KUHP.
“Lebih dari itu, menggunakan pasal delik pidana dalam UU Pers,” ujarnya.
Sebagai gambaran, delik pidana yang dapat menjerat pelaku sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang Undang 40 tahun 1999 tentang pers. Memuat sanksi pidana bagi setiap orang yang menghalang halangi kerja jurnalistik, diancam pidana penjara 2 tahun dan denda Rp500 juta.
Menurut dia, seharusnya oknum LSM tersebut memahami konteks kemerdekaan pers. jika keberatan pada pemberitaan tertentu, dapat menggunakan mekanisme hak jawab jika merasa dirugikan akibat pemberitaan, sesuai Pasal 5 ayat 2 UU Pers. Juga dapat menggunakan hak koreksi sesuai diatur Pasal 5 ayat 3 UU Pers.
“Bukan justeru menggunakan cara cara premanisme,” sesalnya.
Ia berharap, ini kasus terakhir dialami jurnalis di NTB, sebab akan berdampak pada iklim kemerdekaan pers yang menjalankan tugas demi kepentingan publik. Sekaligus ingin menguji keseriusan Polisi memproses pidana pelaku menggunakan delik pers.
“KKJ akan berkoordinasi dengan korban untuk menyiapkan langkah hukum, terutama mendorong penerapan delik pidana Pers pada pelaku,” kata Haris.