Oleh: Harmoko (Aktivis KAMMI NTB)

Pilpres tahun 2019 telah usai dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan masyarakat Indonesia telah mengetahuai siapa presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Sebagai masyarakat Indonesia dan sebagai pemilih pada Pilpres 2019 saya sangat bersyukur Pilpres tahun ini berjalan dengan tertib, damai dan aman.

Di sisi lain masih banyak catatan penting yang harus diperbaiki oleh KPU dalam melaksanakan pesta demokrasi di negeri tercinta ini. Ratusan korban jiwa menjadi taruhan dan korban demi terselenggarannya pemilu 2019. Inilah catatan yang amat penting yang harus digarisbawahi oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara dan tidak hanya untuk KPU tapi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperbaiki wajah demokrasi Indonesia.

Masih banyak catatan penting untuk kesehatan demokrasi bangsa Indonesia dan semua eleman masyarakat harus ikut terlibat untuk menyelesaikan problem demokrasi Indonesia yang semakin hari semakin tidak sehat untuk dikonsumsi.

Pemilu 2019 memberikan catatan yang begitu banyak untuk dievaluasi. Mulai dari desain politik, kultur politik dan budaya politik masyarakat Indonesia yang masih primitif. Terbukti bahwa demokrasi bangsa Indonesia masih primitif. Salah satu buktinya adalah masyarakat Indonesia masih mengunakan kata-kata cebong dan kampret dalam bahasa politik bangsa Indonesia.

Kata-kata seperti itu tidak sepantasnya digunakan dan masyarakat Indonesia mengunakan kalimat yang sama sekali tidak memiliki makna masa sekali. Ini bertanda  bahwa demokrasi bangsa Indonesia tidak beradab.

Masalah belum selesai sampai di situ walau pun KPU telah menetapkan bahwa pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Setelah melewati berbagai proses yang panjang, mulai dari kubu Prabowo-Sandi yang mengklaim kemenangan dan tidak menerima putusan awal dari KPU bahwa pasangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin memang kemudian Prabowo Sandi menolak hasil dari perhitungan KPU karena Pasangan Prabowo Sandi mengetahui adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif sehingga pasangan Prabowo Sandi menempuh jalur konstitusional dan membawa masalah di Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah melewati proses yang panjang dan melelahkan MK memutuskan bahwa semua gugatan Tim Kuasa Hukum Pasangan Prabowo Sandi ditolak oleh MK dan akhirnya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin.

Dari berbagai problem yang ada pada pilpres 2019 apakah perlu sebuah rekonsiliasi sebagai tanda bahwa pesta pesta demokrasi telah usai dan sekarang kita membangun Indonesia bersama untuk masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan dalam sebuah acara di stasiun televisi “Rekonsiliasi itu dilakukan ketika ada problem antara dua kubu tapi kenyataan sekarang tidak ada masalah antara Prabowo dan Jokowi”. Narasi Bang Dahnil ini tidak melihat secara komperhensif problem dibawah. Saya sepakat dengan padangan Prof. Salim Said, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah terpecah menjadi dua kubu, kubu Pak Prabowo dan kubu Pak Jokowi dan itu terjadi pada msayarakat Indonesia sekarang.

Rekonsiliasi itu perlu untuk menyatukan persespi, padangan dan ide dalam membangun Indonesia dan itu harus dimulai dari para elit politik bangsa Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi dan masyarakat Indonesia sekarang sudah terpecah bela maka menjadi suatu kewajiban para elit politik untuk menyatukan kembali masyarakat Indonesia dengan rekonsiliasi.

Kirim opini atau surat pembaca di email: [email protected]