Oleh: Jayajgok

(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

KORANNTB.com – Tak dipungkiri Kota Mataram adalah kota madya yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki jumlah lahan seluas 6.130 Hektar dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 468.509 pada tahun 2017. Untuk itulah Walikota Mataram mendorong terus penataan dan pembangunan kota yang maju, religius, dan berbudaya.

Selain itu juga dorongan untuk meciptakan Mataram go green juga kuat dengan adanya rancangan Ruang Terbuka Hijau yang secara konsisten akan dilakukan, namun sementara itu lahan hijau di Kota Mataram semakin menipis. Ataukah mungkin wacana go green adalah politik ekologi? Seperti yang pernah dipaparkan oleh salah satu dosen Fisip Universitas Andalas Zainal Arifin dalam penelitiannya bahwa banyak di beberapa kasus tertentu menunjukan bahwa aktivitas, program dan kebijakan tersebut hanyalah wacana yang dikembangkan demi kepentingan tertentu.

Masuknya investor untuk membuka pabrik-pabrik seperti proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Lombok Peaker di Tanjung Karang Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat disambut baik oleh masyarakat sekitar. Hal itu dilihat dengan adanya dorongan dari Pemprov demi menjawab kebutuhan listrik nasional sebesar 150 MW (baca Hariannusa.com: Jaminan Pasokan Listrik, Pemprov Dorong Pembangunan PLTGU, Rabu, 2 Agustus 2017).

Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat RI Komisi IV juga ikut turun meninjau proses pembangunan (baca Republika.co.id: DPR Harap PLTGU Lombok Peaker Rampung Tepat Waktu, Selasa 27 Feb). Hal tersebut tentu dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan juga pengembangan kelistrikan Kota Mataram.

Masyarakat di sekitar lingkungan pembangunan juga menilai positif dengan adanya lapangan pekerjaan baru yang terbuka di sekitar lingkungan mereka seperti masyarakat Lingkungan Bagek Kembar, Gatep, Kekalik dan sekitarnya. Hal tersebut mungkin saja sama di beberapa daerah di Pulau Lombok. Dengan adanya lapangan pekerjaan baru yang dibuka tentunya sangat membantu perekonomian masyarakat sekitar.

Pembangunan PLTGU Lombok Peaker (kapasitas 150 MW) merupakan bagian dari proyek kelistrikan sebesar 500 MW dengan nilai investasi sebesar Rp1,6 triliun. (baca: DPR Harap PLTGU Lombok Peaker Rampung Tepat Waktu, Selasa 28 Februari 2019). Pembangunan PLTGU semacam ini telah dilakukan di beberapa titik dan penyerapan tenaga kerja yang lumayan baik seperti PLTU Lombok Timur : 1.200 (fase konstruksi) 470 (fase operasi), PLTMG Maumere : 285 orang, Mobile Power Plant (MPP) Flores : 210 (fase konstruksi) 25 (fase operasi), PLTMG Kupang Peaker : (300) orang, PLTMG Sumbawa : 285 orang, Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Bima : 300 orang, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Lombok Peaker : 365 (fase konstruksi) 25 orang (fase operasi).

Hal positif ini memang sengat baik bagi peningkatan sosio ekonomi masyarakat di sekitar lingkungan pembangunan. Namun beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah jangka panjang setelah pembangunan dilakukan. Seperti resiko pekerjaan dan dampaknya bagi lingkungan sekitar.

Merawat ekosistem dan lingkungan hidup adalah amanat undang-undang yang wajib untuk dipatuhi. Dalam kehidupan bernegara dan menjalankan pemerintahan, Undang-Undang adalah acuan mutlak sebagai pedoman dalam pengelolaan dan pengawasan. Dampak lingkungan dari aktivitas industri tentu diantisipasi dengan alat-alat teknologi yang telah diperbaharui, namun kecelakaan aktivitas produksi dari pabrik tentu juga perlu dihindari. Sehingga aktivitas industrialisasi biasanya dijauhkan dengan pemukiman dan sektor-sektor ekologis.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai amanat undang-undang adalah ikhtiar mulia yang dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup ekosistem alam, namun beda cerita apabila sebaliknya. Pemanfaatan lahan RTH juga telah diatur dalam undang-undang daerah beserta pengawasan dan perizinannya.

Kota Mataram hari ini kekurangan ruang terbuka hijau yang di mana amanat undang-undang telah mewajibkan sebanyak 30% dari luas kota sebagai lahan RTH di mana 20% adalah RTH publik dan 10% adalah RTH privat, sementara itu pemerintah kota baru merealisasikan sebanyak 27% dari amanat undang-undang. Polemik semacam ini harus kemudian menjadi perhatian serius bagi pemerintah Kota Mataram. Hal ini dikarenakan, selain menjadi visi dari Kota Mataram, ini adalah amanat undang-undang itu sendiri yang wajib dijalankan.

Luas lahan ini nantinya diharapkan dapat mengurangi kerusakan ekosistem akibat aktivitas kota dan juga acuan dalam penanggulangan bencana alam. Sehingga pentingnya RTH ini bukanlah sunnah lagi akan tetapi telah menjadi kewajiban.

Masalah pengadaan RTH bukan hanya menjadi masalah di Kota Mataram, akan tetapi di daerah daerah lain seperti Jakarta, Depok, Cirebon dan daerah lainnya karena kurangnya ketersediaan lahan. Banyaknya masalah sepereti ini yang terjadi di kota-kota besar bukan berarti kemudian dibiarkan begitu saja, tapi menjadi permasalahan serius yang kemudian harus ditegaskan solusinya.

Kota Mataram bisa terbilang kota yang akan berkembang pesat ke depannya. Kemajuan kota akan terealisai apabila dibarengi dengan penegasan public policy yang ada. Sebuah ihktiar bersama yang sangat mulia sebagai langkah konsisten untuk kemajuan yang dicita-citakan. Berkembangnya kota akan sangat baik ketika setiap elemen yang ada bekerjasama dengan sebaik mungkin demi kesejahteraan bersama dikemudian hari.

Namun bayangkan apabila suatu daerah perkotaan yang dikenal asri dan masih jauh dari kata polusi dan kerusakan ekosistem seperti di daerah-daerah lainnya malah ikut terdampak. Sekali lagi saya tegaskan, ini adalah tanggung jawab kita semua. Cukupkanlah penyakit-penyakit kota yang kumuh, berpolusi, dan bising itu, kemudian bangun gagasan kota yang maju secara ekonomi dan ramah lingkungan. Kita tidak sedang dalam ruang-ruang eksploitatif namun terjaga oleh tangan-tangan pemerintahan yang paham betul bagaimana menjaga masyarakat dan ruang hidupnya.

Luas RTH yang telah ditetapkan oleh pemkot Mataram sebesar 1800 hektar dan telah terpenuhi sebesar 1600 hektar tinggal sisa 200 hektar untuk memenuhi kewajiban dari RTH yang telah ditentukan. Salah satunya RTH yang memanjang di kawasan Ampenan telah digunakan sebesar 9,7 hektar untuk pembangunan PLTGU Lombok Peaker dan telah dijanjikan akan digantikan dengan lahan yang sama di tempat lain (baca: Radarlombok.co.id 1 juli 2019).

Hal itu dilakukan ketika akan diberikannya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) hal seperti ini yang kemudian harus menjadi pengawasan ketat dari Pemkot dan penegasan dari public policy tadi.
Lahan pekerjaan menjadi persoalan wajib yang harus diselesaikan bersama dengan adanya ketersediaan lapangan kerja. Masalah lapangan pekerjaan bukanlah iming-iming atau hadiah yang semata-mata digunakan sebagai kado untuk menutupi persoalan lainnya. Akan tetapi sebuah masalah bersama yang dituntaskan dengan solusi tanpa ketimpangan. Artinya setiap kebijakan dalam menjawab solusi lapangan kerja haruslah tidak melanggar kebijakan yang lainnya.

Kirim artikel Anda di email [email protected]