Waspada Aktivis Oportunis, Berpolitik Praktis Tanpa Bicara Data
Muhammad Fikri Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram NTB
KORANNTB.com – Daerah Bima merupakan daerah yang pertumbuhan masyarakatnya sebagian besar adalah masyarakat agraris. Semangat kehidupan masyarakat agraris mampu mencetak kalangan muda terdidik menengah ke atas untuk melanjutkan sampai ke perguruan tinggi secara formal, baik pada tingkat kemahasiswaan maupun tingkat lembaga pemuda.
Dengan minimnya modal Ilmu dan pengetahuan, mereka mampu berjibaku melawan yang menurut mereka adalah hasil produk kebijakan kaum-kaum imprealis yang tidak berpihak terhadap kesejahteraan masyarakat. Aksi dan demonstrasi menjadi panggung untuk membranding dirinya, namun, berkatnya demokrasi dan kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) semakin tambah hidup.
Tahun 2020 kembali Indonesia akan berpesta pora dengan kontestasi elektoral Pilkada di tubuh negeri. Dari ujung timur hingga ujung barat akan melaksanakan ritual kenegaraan untuk mengganti kepemimpinan. Sejumlah 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang akan melaksanakan ritual alih pemimpin. Kabupaten Bima Adalah salah satunya yang akan siap melakukan Kontestasi Pilkada Kabupaten Bima Periode 2020-2025.
Siapa sangka pesta demokrasi tersebut ternyata banyak mengundang perhatian para aktivis-aktivis yang bermental pragmatis. Kehadiran mereka (aktivis oportunis) seakan menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintahan maupun aparat birokrasi di Kabupaten Bima.
Penulis berpendapat, bahwa ini juga salah satu faktor penghambat tata kelolaan pemerintahan dan proses pembangunan daerah dari setiap sektor. Padahal Kabupaten Bima sebagai daerah otonomi pemerintahannya memiliki hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundan-undangan yang diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat (5) tentang Otonomi Daerah.
Sebenarnya tugas aktivis pemuda/mahasiswa adalah melakukan advokasi untuk kemudian Pemerintah Kabupaten Bima lebih mudah menyerap aspirasi masyarakat secara keseluruhan untuk memberdayakan masyarakat yang belum terpenuhi.
Jikapun terjun pada dunia politik, aktivis mahasiswa/pemuda harus mampu berusaha mengim-power masyarakat dengan memberikan penyadaran politik (civic education) dan penguatan nalar publik, dengan menanamkan pemahaman masyarakat atas hak dan kewajibannya di dalam berbangsa dan bernegara.
Sebagai aktivis pemuda/mahasiswa dengan segala keterbatasannya yang tidak memiliki power dan kebijakan seperti pemerintah harus tetap sukarela menolong rakyat kecil tanpa pamrih sebagai bentuk tanggung jawab moralnya sebagimana perannya sebagai agent of control dan agent of change yang sering terdengar keluar dari mulut aktivis pemuda itu sendiri.
Penulis mengamati dengan seiring perkembangan zaman sendiri, para aktivis pada bidangnya kini kita bisa temui di media sosial. Mereka sangat lantang meneriakan ideologi melalui akun Facebook masing-masing misalnya. Tatkala mereka hadir di media sosial sebagai aktivis-aktivisan, bisa juga sebagai aktivis abal-abal yang saat berbicara tentang kebutuhan.
Mengapa abal-abal? Misalnya dalam menjemput momen Pilkada Kabupaten Bima sendiri, begitu banyak aktivis yang berbicara politik tanpa data dan informasi yang akurat, sehingga menciptakan opini publik yang menjadi pusat perhatian masyarakat.
Keberpihakannya untuk ikut menikmati politik praktis semata-mata tidak terlihat karena keberpihakannya terhadap kepentingan publik.
Menurut Pengamat Bidang Kajian Media dan Komunikasi Politik, Anang Sujoko, yang dikatakan aktivis, pasti dia punya kredibilitas dan integritas. Kredibilitas karena dia sendiri mempunyai background keilmuan dalam organisasinya itu.
Selain tiga aktivis mahasiswa Wera yang ditangkap karena melakukan upaya untuk mengusir pertambangan pasir di Wera. Penulis belum menemukan yang idealnya seorang/kelompok aktivis dalam hal ini keberpihakannya memperjuangkan kepentingan rakyat yang sampai rela terjun pada curam yang dalam pada situasi dan kondisi yang mengancam keselamatan jiwanya sekalipun. Seperti Widji Tukul, Marsinah seorang wanita buruh pabrik, Salim Kancil aktivis lingkungan, dan masih banyak deretan nama aktivis yang besuara lantang dengan ideologinya, dengan datanya, dan dengan kajian-kajian Ilmiah untuk berjuang keras hingga terenggut nyawanya.