KORANNTB.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan mendapatkan cukup banyak laporan mengenai pembubaran kerumunan oleh Aparat Kepolisian mulai dari cafe hingga pesta pasca mewabahnya Coronavirus COVID-19.

Belakangan ini bahkan beredar video singkat tentang pembubaran pesta dan pernyataan anggota Polri memerintahkan anggotanya untuk membawa penyelenggara ke kantor polisi.

Hal ini dimulai dengan keluarnya Maklumat Kepala Kepolisian Negara RI No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona Covid-19 tertanggal 19 Maret 2020.

Polri juga mengeluarkan “Pandemic Covid-19 Panduan untuk Penegakan Hukum” di mana pada halaman 9 tertulis “Pembatasan gerakan di titik-titik persimpangan perbatasan, di area lockdown.”

Atas kejadian tersebut, Direktur YLBHI, Asfinawati dalam keterangan tertulis mengatakan UU Karantina Kesehatan mensyaratkan adanya penetapan status “Kedarurat Kesehatan  Masyarakat” dari Presiden RI.

Sebelum status darurat kesehatan tersebut diperlukan aturan berupa Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penetapan dan Pencabutan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebelum dilakukan tindakan-tindakan tertentu termasuk karantina.

“Saat ini hanya ada Keppres tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan. Apabila Presiden melarang daerah melakukan lockdown karena wewenang ada pada dirinya, sungguh aneh Presiden membiarkan status darurat dikeluarkan SK Kepala BNPB dan tidak mengambil tanggung jawab sesuai UU untuk menetapkannya,” katanya, diterima media ini, Minggu, 29 Maret 2020.

UU Kekarantinaan Kesehatan juga mensyaratkan aturan (Peraturan Pemerintah) tentang Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan pengaturan lebih lanjut mengenai karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah serta pembatasan sosial berskala besar.

Aturan-aturan tersebut, katanya bukan semata pengaturan wewenang atau bersifat birokratis tetapi lebih dari itu untuk menjamin pengaturan tersebut tidak sewenang-wenang dan pelaksanaannya melampaui apa yang sudah ditetapkan.

Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Kovenan Hak Sipil Politik yang telah menjadi hukum Indonesia dengan UU 12/2005 yang menyebut dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini.

“Itu sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,” ujarnya.

“Oleh karena itu mengkriminalkan rakyat hanya berdasarkan maklumat dan belum ada penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dari pemerintah adalah perbuatan semena-mena dan melawan hukum,” ujarnya.

YLBHI mendukung upaya pencegahan menyebarnya COVID-19 melalui physical distancing dan sebisa mungkin tinggal di rumah, tetapi perlu dilakukan dengan penyadaran.

“Penggunaan pidana dalam hal ini hanya akan menempatkan yang bersangkutan dalam situasi rentan. Hal ini karena dalam proses pidana yang akan dijalani sulit memberlakukan physical distancing karena fasilitas yang minim. Apalagi jika ditahan mengingat nyaris seluruh rutan dan Lapas di Indonesia mengalami over-crowding,” katanya.

YLBHI juga menyoroti pemberian informasi yang bertolak belakang oleh pemerintah.

“Apabila BNPB dan kepolisian memberikan pernyataan akan betapa berbahayanya virus ini, sebaliknya kebijakan dan pernyataan pemerintah yang diwakili beberapa menterinya menunjukkan hal sebaliknya,” tandasnya.

“Pemerintah misalnya masih menyelenggarakan acara bertaraf internasional pada tanggal 5-8 Maret yaitu Gaikindo Commercial Vehicle ketika korban di seluruh dunia pada tanggal 5 Maret berjumlah 98.425 dan pada tanggal 8 Maret 109.991,” katanya.

Itu dilakukan padahal pada 2 Maret pasien pertama Corona ditemukan dan diumumkan.

“Presiden saat itu menyatakan kita sudah siap. Artinya kesiapan tersebut tidak mencakup menghindari atau tidak membuat kerumunan karena acara bertaraf internasional tetap dilakukan. Tanggal 3 Maret Presiden bahkan menyampaikan masyarakat tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa saat korban seluruh dunia telah mencapai 93.016 dan kematian yang dilaporkan 3.202,” ujarnya.

YLBHI juga menyoroti hingga saat ini tidak ada pernyataan kedaruratan sesuai prosedur yang dibuat oleh pemerintah seiring belum adanya Peraturan Pemerintah tentang penetapan kedaruratan tersebut. Padahal sejak tanggal 10 Maret Dirjen WHO telah meminta Presiden agar Indonesia menetapkan tanggap darurat.

Atas dasar itu, YLBHI menegaskas pemberlakuan situasi darurat, termasuk karantina, secara diam-diam tidak saja perbuatan curang menghindar dari kewajiban tetapi juga membahayakan rakyat khususnya yang miskin dan rentan.

“Hak untuk dipenuhi pangan dan kebutuhan lainnya selama masa darurat menjadi tidak ada, tetapi mereka justru dikriminalkan karena tidak mengikuti status darurat yang sebenarnya belum ada,” ujarnya. (red)