Oleh: Taufan
Dosen FH Unram, Peneliti LPW NTB

KORANNTB.com -Pernikahan pria inisial Muh (31) dengan pria inisial Adi yang menyamar menjadi wanita bernama Mita (25) menggemparkan media beberapa hari terakhir. Muh tidak mengetahui bahwa Mita adalah seorang pria. Awalnya Muh mengenal Mita melalui media sosial sekitar Februari lalu, selanjutnya menjalin komunikasi, pertemuan di Taman Udayana Mataram dan hubungan pacaran, sampai akhirnya menikah pada Selasa, 2 Juni 2020 di KUA Kecamatan Kediri, Lombok Barat.

Setelah melewati berbagai kejanggalan dan mengetahui identitas Mita, pada Sabtu 6 Juni 2020, Muh melaporkan Mita ke pihak Polres Lombok Barat. Kini, Adi yang menyamar jadi Mita telah ditetapkan tersangka oleh Polres Lombok Barat atas dugaan perbuatan penipuan. Penerapan pasal tersebut, perlu mencermati pembagian kejahatan dalam hukum pidana, karena penipuan merupakan bagian dari kejahatan terhadap harta benda.

Delik Penipuan

Berdasarkan perkembangan hasil penyidikan oleh Polres LomboK Barat (10/06/2020), perbuatan Adi masih mencakup Pasal 378 tentang Penipuan, yaitu “menguntungkan diri sendiri atau orang lain, memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang”. Dari ketentuan delik penipuan Pasal 378, objeknya adalah barang. R. Soesilo (1988) mempertegas bahwa perkataan barang dalam Pasal 378, tidak termasuk manusia (R.Soesilo).

Pada dasarnya, hukum pidana memiliki fungsi khusus untuk melindungi kepentingan hukum individu, masyarakat, dan negara (Lihat Sudarto, 1990 dan Eddy Hiariej, 2015). Dalam KUHP pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara merupakan wujud perlindungan terhadap kepentingan negara, dan pasal yang berhubungan dengan kejahatan terhadap kepentingan umum sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.

Dalam perlindungan kepentingan hukum individu, ada tiga hal yang dilindungi yaitu, perlindungan terhadap tubuh dan nyawa, harta benda dan terhadap kehormatan, kesusilaan dan nama baik.

Delik penipuan, sama halnya seperti pencurian, pemerasan dan penggelapan, merupakan bagian dari fungsi khusus hukum pidana dalam melindungi individu pada aspek harta benda/barang, sehingga pada dasarnya objek dari penipuan adalah harta benda/barang, bukan tubuh/nyawa atau kehormatan.

Walaupun, telah ada putusan pengadilan yang memberikan analogi barang dengan tubuh manusia, namun juga perlu dicermati dasar dari putusan tersebut adalah penafsiran terhadap keberadaan sumber hukum lain yaitu kebiasaan (hukum adat). Di samping itu, penting diperhatikan pandangan umum sebagian besar ahli hukum pidana yang menolak adanya analogi.

Maka, jika Pasal 378 diterapkan terhadap perbuatan Adi, harus dihubungkan dengan kerugian barang/harta benda (kerugian ekonomi) yang dialami oleh Muh.

Dalam KUHP, rumusan bab tentang kejahatan terhadap asal-usul pernikahan di atur mulai Pasal 277 hingga Pasal 280. Pada Pasal 280 diatur perkawinan yang sengaja tidak memberitahu kepada pihak lainnya bahwa ada penghalangnya yang sah. Kata penghalang yang sah dalam pasal ini diperuntukan terhadap seseorang yang kawin dan halangan sah yang lain seperti belum cukup umur, tidak ada izin, perkawinan hubungan darah, dan lainnya sesuai ketentuan status keperdataan.

Dari ketentuan Pasal 280, berkaitan dengan perkawinan Muh dan Adi (Mita) perlu dilakukan interpretasi hukum terhadap “penghalang yang sah” yang dapat menjangkau status kelamin dalam bidang keperdataan dan khususnya perkawinan. R.Soesilo (1988), memberikan tanda melalui pertimbangan agama dan hukum adat di Indonesia, sehingga polisi dapat meminta keterangan pada pemuka agama/ahli hukum Islam dan juga ahli hukum perdata.

Status Perkawinan

Berdasarkan keterangan dari kerabat korban (Muh), bahwa ia telah melayangkan kalimat perceraian melalui WhatsApp. Dari sudut pandang hukum agama, usaha Muh bisa saja berarti talak. Dengan perkawinan yang telah tercatat, upaya ke depan yang lebih tepat ditempuh untuk memberikan kepastian hukum adalah pembatalan perkawinan, bukan perceraian.

Pasal 8 UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) mengatur larangan perkawinan salah satunya yaitu antara dua orang yang diantaranya mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Sesuai diatur pada Pasal 22 UU Perkawinan, bahwa “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Pasal 27 Ayat (2) kemudian menentukan “seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri”. Dengan demikian, perkawinan antara Muh dan Adi (Mita) termasuk ke dalam objek yang dapat dibatalkan.

Apabila perkawinan dibatalkan atas dasar halangan tersebut, berdasarkan argumentasi Pasal 8, Pasal 22 dan Pasal 27 Ayat (2), pengenaan delik “penipuan pernikahan” terhadap Adi dapat pula dipertimbangkan mengarah pada ketentuan Pasal 280 KUHP.

Perbarengan Perbuatan

Dari hasil penyidikan Polres Lombok Barat, terdapat perbuatan pemalsuan KTP oleh Adi. Sesuai dengan ketentuan dalam KUHP, perbuatannya termasuk ke dalam delik pemalsuan surat. Penerapan pidana terhadap Adi dapat dikenakan berkaitan dengan perbarengan perbuatan (concurcus/delneming) sebagaimana diatur pada Pasal 63 Ayat (1), yaitu jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Dalam hukum pidana, perbuatan Adi termasuk kriteria persamaan sifat dari perbuatan yang dilakukan, yang merupakan kategori perbarengan aturan (concurcus idealis), yaitu perbuatan “penipuan” yang dilakukan termasuk pula dalam aturan delik pemalsuan surat, sehingga, diterapkan ketentuan pidana yang paling berat diantara ketentuan pidana yang dilanggar tersebut (stelsel absorbsi). Dengan adanya fakta pemalsuan surat, polisi dan jaksa perlu menentukan adanya perbarengan perbuatan.

Mengelak Perbuatan

Dari pemberitaan terakhir, Adi mengakui bahwa Muh mengetahui bahwa ia (Adi) sebagai seorang pria. Keterangan tersebut tentu menambah tantangan bagi polisi dan jaksa dalam menggali alat bukti.

Pembuktian dalam peradilan pidana Indonesia, tidak menjadi soal apabila tersangka/terdakwa tidak mengakui perbuatannya, karena penegak hukum dapat menghubungkan kesesuaian fakta berdasar alat bukti berdasar Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Polisi dapat mengkaitkan dengan berbagai fakta yang ditemukan, diantaranya yaitu mulai dari akun media sosial, bentuk komunikasi, juga terkait cara berpakaian dan sikap Adi (Mita) yang kemudian dapat didukung dengan barang bukti. Pada akhirnya, hakim akan memutus berdasar penilaian alat bukti ditambah keyakinannnya (pembuktian negatif).

Perlindungan Korban

Dari fakta yang mencuat, bahwa Muh tidak hanya memiliki kerugian secara materi (barang/harta benda), namun juga dampak terhadap kehormatan (jiwa), sedangkan delik penipuan yang dikenakan oleh polisi merupakan lingkup delik perlindungan kepentingan hukum individu terhadap barang atau harta benda.

Korban dan keluarga memberikan pengakuan bahwa dampak paling besar dirasakan Muh dan pihak keluarga adalah tekanan psikologis, rasa malu terhadap masyarakat terutama tetangga. Tekanan tersebut juga tersulut dari berbagai simpang siur isu yang berkembang. Sehingga, di samping menjerat pelaku, aspek yang penting dipertimbangkan adalah pendampingan terhadap korban.

Peradilan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP memang tidak merumuskan norma perlindungan korban, namun jika menoleh pada UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014) dapat disandarkan sebagai ketentuan pemberian perlindungan terhadap Muh sebagai korban. Perlindungan yang diberikan dapat berupa pendampingan seperti bimbingan konseling atau perlindungan lain yang dimungkinkan sesuai kategori UU Perlindungan Saksi Dan Korban, kemudian dapat dimungkinkan pula dilakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi.

Pertimbangan pemenuhan hak Muh sebagai korban, perlu diwujudkan dalam sistem peradilan pidana, tidak hanya berorientasi terhadap pelaku, tetapi juga menyelami kepentingan korban.