KORANNTB.com – Siapa yang menyangka, Indonesia pernah mendirikan PBB tandingan di Jakarta. Itu atas ambisi Soekarno yang muak dengan PBB yang saat itu bahkan hingga ini diisi oleh kepentingan negara-negara adidaya.

PBB yang berdiri berdasarkan landasan demokrasi, namun justru tidak mengandung nilai demokrasi di dalamnya. PBB hanya dikendalikan oleh negara adidaya. Contohnya dengan adanya hak veto yang dimiliki negara-negara tertentu saja.

Dalam pidatonya di markas besar PBB 30 September 1960, Soekarno meminta markas PBB pindah ke tempat yang bebas suasana Perang Dingin. Namun pidato tersebut sama sekali tidak digubris.

Soekarno juga merasa murka dengan rencana PBB yang ingin memasukkan Malaysia menjadi Anggota Dewan Keamanan PBB tidak tetap. Bagi Soekarno, Malaysia adalah boneka Inggris untuk menancapkan bendera nekolim. Jika kolonialisme menjajah suatu negara dengan fisik, maka nekolim menjajah negara lain pada ekonomi. Dan terjadi saat itu.

31 Desember 1964 Soekarno memberi ultimatum pada PBB. Jika PBB menerima Malaysia sebagai anggota dewan keamanan, maka Indonesia akan keluar dari PBB.

Minggu kemudian, Malaysia diterima PBB dan Indonesia membuktikan janjinya dengan keluar dari PBB pada 20 Januari 1965.

Soekarno pun berencana untuk mendirikan PBB tandingan untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. PBB tandingan tersebut diberi nama CONEFO, yang merupakan akronim dari Conference of The New Emerging Forces.

Untuk keperluan tersebut, dibangun satu gedung di dekat Gelora Senayan. Soekarno ingin membuat gedung PBB tandingan tersebut lebih megah dari gedung PBB di New York dan lebih bagus dari People Palace di Bejing.

Pembangunan juga didesak harus selesai dalam satu tahun. Karena pada 1966 gedung tersebut akan digunakan. Padahal pada perkiraan, gedung itu dapat diselesaikan dalam tempo lima tahun. Namun bukan Soekarno jika tidak berambisi besar.

Republik Rakyat China dan Republik Persatuan Arab dengan senang hati membantu Soekarno. Kapal-kapal mereka dikirimkan untuk membawa bahan-bahan.

CONEFO dibangun menggunakan filosofi sayap pesawat. Itu artinya, Indonesia sedang terbang menuju tatanan dunia baru, bukan menjadi penonton peradaban. Tetap menjadi pelaku peradaban.

PBB tandingan ini memiliki anggota negara-negara berkembang seperti Indonesia, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara dan Vietnam Utara.

Sementara negara pengamat CONEFO adalah Uni Soviet, Kuba, Yugoslavia, Republik Arab Bersatu dan Organisasi Pembebasan Palestina.

Sementara musuh atau saingan CONEFO adalah PBB, Malaysia dan Britania Raya.

Nama Indonesia terkenal dan sangat disegani kala itu. Negara-negara adidaya yang awalnya menganggap remeh Indonesia, mendadak terkejut melihat Indonesia dengan Panglima Besar Revolusi, Soekarno.

Sayangnya, beberapa bulan setelah pemancangan tiang pertama, meletus pemberontakan PKI. Proyek CONEFO pun kandas. Konsentrasi bangsa menjadi pecah saat terjadi G30S PKI.

Perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat redup impian besar CONEFO. Pada 11 Agustus 1966, Soeharto membubarkan CONEFO dan memohon agar PBB menerima Indonesia bergabung kembali dengan PBB.

Meskipun dibubarkan, pembangunan gedung tetap berlanjut, namun difungsikan untuk tempat anggota dewan kita yang terhormat hingga saat ini, DPR dan MPR.

Hingga saat ini, kita dapat melihat gedung megah itu berdiri, yang menjadi saksi bisu ambisi besar bangsa kita. (red)