KORANNTB.com – Kasus Postma di Belanda memicu perdebatan tentang Euthanasia atau tindakan mengakhiri hidup secara sengaja untuk menghilangkan penderitaan akibat sakit, dengan kata lain dikenal dengan suntik mati.

Seorang dokter bernama Andries Postma pada 1971 menggemparkan Belanda. Dokter yang berasal di Desa Noordwolde pedesaan Friesland menggemparkan Belanda karena awal mula melakukan Euthanasia terhadap ibu mertuanya.

Postma belajar kedokteran di Groningen. Kemudian dia bertemu Truus yang juga belajar di sana. Mereka kemudian menikah dan mendirikan praktik umum di Noordwolde pada awal tahun 1950-an.

Postma memiliki pandangan tentang hak semua orang untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan pandangan tersebut pernah dimuat di sejumlah majalah pada 1965.

Baru enam tahun kemudian dia mengalami peristiwa yang membuat dia dapat menguji sendiri pandangannya. Ibu mertuanya menderita pendarahan otak, tuli, kesulitan berbicara, dan harus diikat ke kursinya di panti jompo agar tidak terjatuh.

Ibunya sering meminta untuk mengakhiri penderitaannya dengan prosedur suntik.

Postma dan istrinya kemudian setuju dan menyuntik ibunya dengan morfin 200 mg hingga meninggal dunia.

Kasus tersebut kemudian membuat heboh karena saat itu Belanda dengan masyarakat mayoritas kristen sangat tabu dengan euthanasia.

Pengadilan hanya menjatuhi hukuman percobaan yang sangat ringan. Butuh waktu 11 tahun lagi hingga Belanda melegalkan euthanasia terhadap pasien dengan kondisi tidak dapat terobati atas permintaan pasien.

Euthanasia di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia. Tentu saja euthanasia sangat dilarang di Indonesia. Terlebih lagi dengan masyarakat mayoritas Islam yang melarang mengakhiri hidup.

Di Indonesia permohonan euthanasia  pernah diajukan Hasan Kusuma ke PN Jakarta Pusat pada 22 Oktober 2004 atas nama istrinya Again Isna Nauli. Dikutip dari hukumonline, pengajuan permohonan euthanasia dilakukan karena Hasan terlilit biaya pengobatan istrinya yang koma selama dua bulan.

Kondisi istrinya mengalami koma selama empat bulan pasca operasi caesar. Karena sibuk mengurus istrinya, sehingga anak-anak menjadi telantar.

Ada lagi kasus dialami Ignatius Ryan Tumiwa yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati karena alasan jobless dan hidup sebatang kara. Ia mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi Pasal 344 KUHP tentang euthanasia.

Namun permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup diancam dengan hukuman pidana.

Namun, pada Agustus 2014 permohonannya dicabut dengan alasan Ryan sudah punya semangat untuk menjalani kehidupan lagi.

Masih banyak permohonan euthanasia di Indonesia. Namun selalu gagal karena hukum Indonesia melindungi hak asasi manusia terutama hak untuk hidup.

Menurut Budi Hartono, peneliti The Society of Philosophy and Technology, seperti dikutip dari kompas.com, Indonesia melarang euthanasia sudah cukup rasional dengan pertimbangan matang berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya, jika hukum memperbolehkan euthanasia, maka akan ada banyak orang yang akan berpikir untuk melakukan hal tersebut.