KORANNTB.com – Pemerintah akan merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi kedua tersebut kini tengah diajukan ke Komisi I DPR RI.

Revisi tersebut dinilai sejumlah aktivis penuh dengan kejanggalan dan ketidaktransparanan pemerintah. Misalnya revisi diajukan di Komisi I yang lingkupnya justru keamanan dan pertahanan nasional.

Begitu juga dengan tidak melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi tersebut.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Julianto, mewanti-wanti revisi tersebut jangan sampai ada pasal-pasal transaksional yang sengaja dimasukkan untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu.

“Jangan sampai pasal dalam UU ITE adalah pasal-pasal transaksional, sebagai upaya untuk mengkerdilkan ruang internet untuk menyisipkan agenda oligarki,” katanya dalam diskusi daring, Kamis, 2 Maret 2023.

Dia juga menggarisbawahi pasal pemutusan internet yang mengebiri kebebasan internet masyarakat. Pemutusan internet atau pemblokiran platform dalam UU ITE hanya memerlukan persetujuan pengadilan. Tidak ada tinjauan atau uji dari lembaga independen lainnya.

“Pemutusan internet terlampau besar tanpa ada lembaga independen (yang menguji) apakah platform ini melanggar undang-undang atau tidak,” ujarnya.

Pasal Karet

Diskusi tersebut juga menyoroti Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang sering dijadikan senjata untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, mahasiswa dan masyarakat umum.

Pada pasal tersebut bermuatan ujaran kebencian yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antar golongan.

Mengambil contoh kasus di NTB, seorang aktivis dipenjara hanya karena bertanya di group WhatsApp menjadi cermin karetnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Padahal pasal tersebut diterapkan bagi orang yang memicu permusuhan atau keonaran di tengah masyarakat, bukan sekedar bertanya melalui group WhatsApp.

Selain itu penyidik sering kali keliru menafsirkan frasa “antargolongan” yang menjadi bagian pada kata “SARA” dalam Pasal 28 ayat (2).

Padahal dalam KUHP, antargolongan identik dengan pasal peninggalan Belanda yang membagi Indonesia dalam tiga golongan; Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Namun justru penyidik cenderung memaknai berbeda.

Belum lagi beberapa kali judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya hakim MK justru memperluas makna antargolongan pada UU ITE.

“28 ayat (2) menjadi kisruh bagaimana MK merumuskan (makna) antar golongan lebih luas lagi, yang sebenarnya hanya golongan pribumi, Eropa, Timur Asing,” katanya.

Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, mendorong agar pasal tersebut dihapuskan karena sering digunakan sebagai sarana kriminalisasi masyarakat.

“Pasal 28 ayat (2) kami mendorong untuk dihapuskan karena sering digunakan sebagai alat untuk kriminalisasi,” ujarnya.

Dia juga meminta Pasal 26 ayat (3) UU ITE tentang penghapusan sistem atau dokumen elektronik agar dihapus. Pasal tersebut tidak relevan lagi berada di UU ITE. Apalagi saat ini Indonesia telah memiliki RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

“Soal penghapusan informasi elektronik yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan. Aturan ini tidak rigit dan multitafsir. Meskipun sudah ada peraturan turunan seperti PP 71 tapi tentu belum menjawab luasan makna,” jelasnya.

Dia juga menyinggung kewenangan terlampau besar dari pemerintah untuk meminta penghapusan dokumen atau informasi elektronik hanya melalui pengadilan tanpa pertimbangan atau diuji oleh lembaga publik yang bersifat independen. Ini dinilai menjadi hambatan dalam kemerdekaan digital di Indonesia.

Penyidikan Kasus ITE

Menjadi sorotan juga adalah sikap penyidik dalam menyidik kasus ITE. Penyidik cenderung mengabaikan prinsip ultimatum remidium atau prinsip hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Padahal dalam Surat Edaran Kapolri bernomor: SE/2/11/2021 dijelaskan tentang itu.

Selain itu dalam surat edaran Kapolri, penyidik juga ditekankan membedakan mana kritik, masukan, hoax dan ujaran kebencian.

Masih dalam penyidikan kasus ITE, penyidik juga sering menyepelekan aturan-aturan yang berlaku, sebut saja tentang tim ahli ITE. Kominfo memiliki 21 tim ahli ITE yang dimintai keterangannya oleh penyidik. Namun  penyidik kepolisian khususnya di NTB tidak pernah menggunakan tim ahli ITE dan digital forensik yang mendapatkan sertifikat keahlian dari Kominfo.

Dalam penanganan kasus ITE di NTB, penyidik Polda NTB cendrung lebih dominan menggunakan ahli pidana umum. (red)