KORANNTB.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggelar Bimbingan Teknis Peningkatan Efektivitas Komunikasi Risiko Bencana di Mataram, Selasa, 26 Agustus 2025.

Para peserta yang hadir mulai dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), TNI-Polri, relawan bencana dan awak media.

Hal menarik dalam diskusi tersebut, seluruh skenario dipelajari ketika menghadapi bencana yang terjadi di suatu daerah. Tidak terkecuali gempa bumi.

Gempa bumi di Lombok maupun NTB pada umumnya masih menjadi sebuah momok. Mengingat 2018 lalu saat gempa menerjang Lombok, efek trauma terhadap gempa masih dirasakan banyak masyarakat hingga saat ini.

Suka atau tidak suka, NTB masih menyimpan masalah serius dengan ancaman seismik tersebut. Ada satu segmen gempa yang belum lepas atau rilis, meskipun secara siklusnya seharusnya sudah saatnya bersiap menghadapi bencana bersiklus tersebut.

Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Pepen Supendi

Selatan Lombok masih menyimpan energi gempa yang cukup kuat. Bahkan para ahli menyebutnya sebagai megathrust, yaitu gempa dengan kekuatan cukup besar dan dapat membangkitkan tsunami.

Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Pepen Supendi mengatakan tidak hanya Pulau Lombok. Namun potensi megathrus juga ada di Pulau Bali yang memiliki lokasi jalur gempa yang sama.

“Pulau Lombok ini termasuk Pulau Bali di selatannya itu ada satu segmen yang dinamakan segmen Sumba, itu bagian dari megathrust di selatan Jawa-Bali,” ujarnya.

Skenario paling buruk jika segmen tersebut lepas, bisa memicu kekuatan gempa maksimal 8,5 magnitudo.

“Berdasarkan pusat studi nasional, itu magnitudonya bisa mencapai 8,5 (magnitudo) skenario terburuk,” katanya.

Dengan kekuatan M 8,5, skenario gelombang tsunami bisa mencapai ketinggian 28 meter dari lokasi gempa, hingga terus berkurang di darat.

“28 meter tsunami kalau skenario terburuk. Skenario itu kami modelkan supaya ketika gempa dan tsunami lebih kecil dari itu, kita sudah siap,” ujarnya.

Kabar Baik

Namun kita sedikit dibuat tenang, karena di zona megathrust tersebut telah lepas gempa-gempa kecil setiap harinya. Ini membuat kita berharap bahwa kehadiran gempa-gempa kecil itu akan membuat energi di zona megathrust sedikit demi sedikit dilepaskan, sehingga tidak terakumulasi menjadi gempa kuat.

“Ahli memang menyebut tidak munculnya gempa besar karena sudah dirilis dalam bentuk gempa-gempa kecil, tapi kita tidak boleh abai terkait itu. Justru kita harus mulai menyiapkan mitigasi,” kata Pepen.

Para ahli berharap gempa-gempa kecil setiap harinya muncul di zona megathrust, sehingga energi pada zona tersebut dilepas sedikit demi sedikit, tidak dilepas sekaligus yang memicu gempa besar.

Jika dianalogikan, akan lebih baik bocor halus pada sepeda motor yang membuat sedikit demi sedikit angin pada ban keluar hingga ban benar-benar kempis, dibandingkan ban motor meledak, yang dapat memicu kecelakaan terhadap penumpang.

“Jadi zona megathrust itu ada bagian-bagian yang terkunci dan ada yang sudah rilis dalam bentuk gempa-gempa kecil, yang dikhawatirkan selama ini kan bagian terkuncinya itu, yang kita sebut sebagai Seismic Gap (Celah Seismik),” ujarnya.

“Sebuah area yang seharusnya terjadi gempa besar namun dalam kurun waktu tertentu ternyata tidak terjadi gempa besar. Artinya ada dua, dilepas dalam bentuk gempa-gempa kecil atau sedang menyusun energi, itu yang dikhawatirkan,” jelasnya.

Hal Dikhawatirkan

Suka atau tidak suka, Lombok memiliki banyak segmen gempa. Paling menonjol selain di Selatan Lombok yang memiliki megathrust, ada juga di utara yaitu Sesar Naik Busur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust).

Sesar Naik Busur Belakang Flores ini yang menyebabkan gempa pada 2018 lalu. Menjadi kekhawatiran bersama ketika gempa di Selatan Lombok telah lepas dengan kekuatan besar, akan memicu bangkitnya gempa di utara ini. Karena, kondisi seismik bawah laut dapat saling berkaitan.

“Di Utara juga memiliki sesar naik Flores yang memiliki karakteristik yang cukup bisa menimbulkan tsunami,” ujarnya.

Secara umum, para ahli kegempaan selalu menaruh perhatian ke Busur Sunda. Busur Sunda adalah lokasi seismik yang menyimpan energi besar dari Pantai barat Sumatera hingga selatan Bali-Nusa Tenggara.

“Busur Sunda dari Pantai barat Sumatera hingga selatan Bali-Nusa Tenggara. Yang menjadi perhatian para ahli itu di Selat Sunda termasuk di selatan Bali-Nusa Tenggara ini,” ujarnya.

Contoh misalnya, Gempa Sumba 1977 dengan kekuatan M 8,3, meskipun bukan berada di zona megathrust, namun pernah memiliki catatan kerusakan buruk hingga tsunami. Bahkan tsunami mencapai Sumbawa dan Lombok (Awang, Kuta).

“Busur Sunda dari Pantai barat Sumatera hingga selatan Bali-Nusa Tenggara. Yang menjadi perhatian para ahli itu di Selat Sunda termasuk di selatan Bali-Nusa Tenggara ini,” ujarnya.

Pentingnya Mitigasi

Masyarakat harus belajar memitigasikan diri terhadap bencana gempa sejak dini. Bukan justru takut menghadapi bencana yang menjadi siklus dan pasti akan terjadi.

“Meskipun nanti yang datang yang kecil, tapi kita harus lebih siap. Tujuannya untuk kesiap-siagakan bukan untuk menakut-nakuti,” kata Pepen.

Bagaimana cara mitigasi, paling mendasar adalah memperhatikan jalur-jalur evakuasi di desa atau rumah. Di mana titik kumpul saat bencana terjadi.

“Yang paling penting sekarang bagaimana kita siap dengan gempa-gempa itu. Mulai dari hal terkecil di rumah tangga, misalnya harus tahu jalur evakuasi di rumah kita ke mana,” katanya.

“Titik kumpulnya ke mana yang jauh dari pepohonan, tiang listrik,” ujarnya.

Kemudian mulai dengan menyusun benda-benda yang berat agar tidak berada di atas. Karena gempa bumi tidak secara langsung membunuh manusia, namun kejatuhan benda berat yang dapat menyebabkan kematian.

“Kemudian menyusun benda-benda yang berat di rumah  berada di bawah. Lemari menempel di dinding harus kuat. Bukan kita panik,” jelasnya.

Sehingga, sudah saatnya masyarakat belajar mitigasi terhadap potensi gempa di jalur megathrust Selatan Lombok, bukan justru takut.