KORANNTB.com – Nusa Tenggara Barat (NTB) telah lama menetapkan 99 desa wisata. Desa-desa tersebut memiliki keunikan tersendiri yang dinilai mampu menjadi magnet wisatawan berkunjung.

Namun, indikator untuk menetapkan desa-desa itu menjadi desa wisata dipertanyakan. Sebut saja, di Desa Senanggalih, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, karena warga menanam pohon anggur di rumah, desa tersebut kemudian ujuk-ujuk dijadikan desa wisata.

Selain itu, fasilitas penunjang di desa wisata tampak bermasalah. Baru-baru ini media ini mengunjungi desa wisata di Tetebatu, Lombok Timur. Sebuah toilet umum dibangun di halaman rumah warga, namun justru kondisi toilet kekurangan air pada waktu itu.

Berbeda dengan Tetebatu, di desa wisata Kembang Kuning Lombok Timur justru toilet berada di atas air terjun yang tidak strategis dan mengganggu keindahan wisata di sana.

Kemudian masalah muncul dalam pembangunan jalan rabas di Tetebatu dan Kembang Kuning. Itu merupakan rute jalur menuju dusun, bukan jalur yang sering dilalui turis.

Jalan rabas maupun toilet tersebut bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) 2019 yang masing-masing total pendanaan Rp200 juta.

Tourist Information Centre di Tetebatu belum beroperasi

Adalagi anggaran Rp200 juta dari DAK 2019 untuk membangun kios kuliner dan cenderamata di Kembang Kuning, namun bangunan fisik pada kios cukup sederhana, hanya lantai dengan setengah tembok plus atap.

Belum lagi Tourist Information Centre di Tetebatu juga saat ini kosong dan belum difungsikan. Padahal desa tersebut diharapkan mampu menjadi magnet wisatawan.

Pegiat Pariwisata NTB, Rudi Lombok, mengkritisi fasilitas yang ada di desa wisata, terlebih lagi desa wisata digelontorkan anggaran khusus untuk membenahi destinasi.

Dia mempertanyakan apa indikator yang membuat pemerintah menetapkan sejumlah desa menjadi desa wisata. Dia melihat sejauh ini yang diincar pemerintah soal jumlah desa wisata dibandingkan kualitas.

“Saya lihat sering sekali pemerintah resmikan desa wisata baru, tapi apa indikatornya ditetapkan desa wisata,” katanya di Mataram, Senin, 9 Maret 2020.

Kios cenderamata di Kembang Kuning telan anggaran Rp200 juta

Pemerintah kata Rudi, seharunya menetapkan standar tinggi untuk menentukan desa wisata.

“Jadi harus ada standar tinggi juga untuk tetapkan sebuah desa menjadi desa wisata, jangan hanya ujuk-ujuk ditetapkan,” ujarnya.

Dia mengatakan setiap desa memiliki keunikan masing-masing, namun tidak seharusnya pemerintah menetapkan banyak desa yang menjadi desa wisata tanpa perhitungan yang matang.

“Desa wisata itu idealnya mengintegrasikan daya tarik berwisata, fasilitas umum ada, fasilitas berwisata ada, memiliki aksebilitas dan disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tradisi setempat,” kata owner Kayangan Tour ini.

“Jadi tidak hanya karena ada beberapa biji pohon anggur langsung jadi desa wisata,” cetusnya. (red)