KORANNTB.com – Setelah ASITA dan PHRI NTB mempertanyakan eksistensi Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) NTB, kini giliran Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) mempertanyakan hal yang sama.

Ketua PUTRI NTB, M Thahrir mengatakan, sejak dibentuk akhir 2018 silam, GIPI NTB sama sekali belum pernah berkoordinasi dengan PUTRI. Namun anehnya, saat ada program pemulihan pariwisata saat ini, GIPI justru muncul paling depan.

“Semenjak terbentuk GIPI (NTB) sampai sekarang itu kita belum pernah ketemu surat, belum pernah. Padahal GIPI ini kan anggotanya assosiasi semua,” kata Thahrir.

Menurut Thahrir, GIPI seharusnya menjadi fasilitator anggotanya dalam hal ini assosiasi pariwisata dalam komunikasi dengan pemerintah. Tapi sejak terbentuk, fungsi GIPI NTB nyaris tak dirasakan assosiasi pariwisata termasuk PUTRI.

“GIPI di NTB ini habis pelantikan, terus sepi. Nah tiba-tiba sekarang muncul lagi. Ini sama ceritanya kayak BPPD (Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB, yang berdiri kan lebih (karena) kekuatan like dan dislike saja, karena ada unsur dipaksakan. Ini kan bukan kali ini saja,” tukas Thahrir.

Ia mengungkapkan sejauh ini, sejak pandemi corona terjadi dan dampaknya dirasakan sektor pariwisata, seluruh assosiasi pariwisata seperti ASITA, PHRI, PUTRI, HPI dan lainnya tetap kompak bersatu. Banyak inisiatif dan kegiatan yang dilakukan bersama selama masa pandemi ini. Seperti kegiatan penyemprotan disinfektan, kegiatan sosial dan lain sebagainya meski dilakukan swadaya.

“Assosiasi pariwisata selama ini sudah bersatu dan kompak. Jangan karena keberadaan GIPI justru memecah, justru kisruh,” ujarnya.

Thahrir mengatakan, idealnya dalam program pemulihan pariwisata NTB menuju masa New Normal nanti, GIPI kembali pada tugas dan fungsinya sebagai fasilitator antar assosiasi pariwisata dengan pemerintah daerah.

Terkait rumors menyebutkan GIPI NTB menerima anggaran hibah pemerintah, Thahrir menegaskan, hal itu tidak boleh terjadi. Sebab GIPI adalah wadah assosiasi pariwisata, yang bersifat independen dan nirlaba, dan hal itu tidak dibenarkan dalam AD/ART GIPI sendiri.

“Ya silahkan buka-bukaan saja, AD/ART GIPI supaya jelas sesuai AD/ART apa yang boleh (dilakukan) dan tidak. Kalau assosiasi pariwisata mungkin bisa mendapat dana bantuan program, tapi selama ini PUTRI NTB juga tidak pernah dapat kok,” katanya.

Menurut dia, di sinilah peran GIPI. Misalnya ada kegiatan dan program assosiasi yang membutuhkan support dan dukungan pemerintah daerah maka GIPI menyampaikannya. Tapi penggunaan dananya tetap harus dilakukan assosiasi dan bukan GIPI.

Ia menambahkan, sejauh ini support program dan dana pemerintah juga dinilai belum merata. Padahal ada tiga aspek yang didorong pemerintah untuk terus dikembangan dalam pariwisata, yakni aksesbilitas, amenitas, dan atraksi.

“PUTRI ini kan bagian dari atraksi, tapi atraksi ini kurang mendapat perhatian,” tukasnya.

Polemik tentang GIPI NTB muncul setelah Dinas Pariwisata NTB menerbitkan rilis tentang sejumlah persiapan Pemprov NTB dalam menyusun SOP Protokol New Normal Pariwisata.

Dalam skema rancangan tim pelaksana, GIPI ditempatkan sebagai pihak yang mewakili industri pariwisata. Assosiasi pariwisata lainnya tidak dimasukan karena dinilai sudah terwakili oleh GIPI.

Sejumlah assosiasi pariwisata pun bersuara karena tak merasa terwakili oleh GIPI.

Ketua ASITA NTB, Dewantoro Umbu Joka bahkan berstatemen keras bahwa GIPI NTB sama sekali tak mewakili industri pariwisata.

Menurut Dewantoro, secara nasional GIPI memang wadah bagi sejumlah organisasi pariwisata, jadi anggotanya meliputi organisasi dan assosiasi pariwisata yang sudah ada termasuk ASITA.

Namun, praktek dan implementasi di daerah, khususnya di Provinsi NTB, GIPI terkesan jalan sendirian.

“Anggota GIPI itu assosiasi dan organisasi pariwisata, dan harus mendaftar menjadi anggota. GIPI ada AD/ART-nya. Biasanya ada anggota baru, ada pengurus. Nah saya nggak ngerti GIPI NTB ini, yang ada pengurus semuanya, lha (terus) anggotanya siapa?” katanya.

Dikonfirmasi terpisah, Selasa (2/6), Ketua GIPI NTB Awanadhi Aswinabawa mengatakan, GIPI merupakan mitra berpikir pemerintah, terutama terkait sektor pariwisata.

“GIPI ini think tank pariwisata. Anggotanya ya assosiasi pariwisata, ada ASITA, PHRI, HPI dan lainnya,” katanya.

Awan kemudian menjelaskan, proses saat pihaknya dilibatkan dalam rencana persiapan penyusunan SOP Protokol New Normal.

“Bahwa sesuai tupoksi GIPI itu, maka dalam kasus covid-19 ini kita diminta Pak Kadis (Pariwisata) untuk sumbang pikiran. Dan sebenarnya bukan buat SOP New Normal saja, tapi lebih dari itu. SOP new normal ini hanya salah satu dari langkah-langkah menuju new normal,” katanya.

Ia mengatakan, semua ini masih dalam tahap persiapan, dan ke depan tentu semua assosiasi dilibatkan.

“Ada konsep (awal) yang saya tawarkan dan presentasikan dua atau tiga hari lalu dalam Vidcon yang dihadiri teman-teman pariwisata. Lengkap ada Ketua PHRI, ada Asita ada HPI dan banyak beberapa lainnya. Jadi, nggak dilibatkan, dimananya nggak dilibatkan? Orang kita baru mulai kok,” tukasnya.

Disinggung soal GIPI NTB yang diduga menerima anggaran dari pemerintah daerah, Awanadhi membantahnya.

“Ya Ampun. Hari ini saya bilang, tidak ada anggaran GIPI. Saya kerja sukarela, karena saya concern dengan pariwisata. Saya agak risih ngomong soal duit gitu. Lebih baik Dispar saja dah (yang kelola). Itu kan bukan uang kita, negara punya uang itu,” tandasnya.

Sementara terkait mengapa GIPI NTB ikut terlibat dalam kegiatan promosi, sementara itu tugas BPPD, Awan mengatakan hal itu bisa saja.

“Promosi tugas BPPD, tetapi jangan lupa fungsi GIPI sebagai think tank pemerintah. Analoginya, kalau satu mobil bannya satu rusak, gembos, kan harus pakai ban serep. Anggaplah GIPI sebagai ban serep, dalam situasi yang darurat GIPI bisa saja melakukan promosi,” katanya.

Awanadhi menekankan, soal anggaran kepariwisataan dari pemerintah daerah GIPI tidak menerima.

“Kalau anggaran, saya pribadi tidak mau juga (kelola). Silahkan Dispar saja. Karena ujung-ujungnya orang menilai hasil. Dan untuk menjamin keberhasilan harus ada perencanaan program dan eksekusi. Siapa yang eksekusi? ya tentu yang dianggap mampu. Silahkan saja,” katanya.

Ia mengajak semua assosiasi pariwisata dan pelaku industri di NTB untuk sama-sama berjuang melewati masa-masa sulit pandemi corona ini.

“Harusnya kita tetap kompak,” katanya.

Sementara Kepala Dinas Pariwisata, H Lalu Moh Faozal mengatakan, untuk mematangkan penyusunan SOP Protokol New Normal Pariwisata, Dinas Pariwisata NTB sudah menggelar rapat melalui Vidcon pada Selasa (2/6). Rapat melibatkan assosiasi pariwisata, pelaku industri, dan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota.

“Kita belum sampai pada kesimpulan apapun terkait kebijakan new normal. Dinas sedang mengumpulkan berbagai pendapat dari assosiasi pariwisata kita. Pastinya yang akan mengeluarkan kebijakan dan SOP New Normal itu pemerintah, ya Dinas Pariwisata baik di Provinsi maupun di Kabupaten. Nah soal ada konsep dari GIPI, PHRI atau ASITA itu masukan saja. Kita sedang menyusun draf-nya,” katanya.

Faozal menyesalan keriuhan yang sempat terjadi. Padahal menururnya saat ini yang dibutuhkan adalah kekompakan dan saling bersinergi antar semua pihak.

“Ini belum apa-apa malah pada ribut. Apa dengan ribut menyelesaikan masalah? Kami paham pariwisata kita sedang terpuruk, maka kuncinya mari bersama-sama donk,” ujarnya. (red)