Oleh : Asrarudin Hamid
Dokter dan pemerhati sosial NTB*

“Setiap orang yang menyemai benih, menyiangi tanah, menanam dan memanen hasil pertaniannya dengan rasa syukur sejatinya adalah petani, ulangi petani.”

Profesi ini, petani sayangnya hingga hari ini masih jua dianggap sebagai profesi yang tidak menjanjikan apalah jika dikatakan secara stratifikasi (dengan sistem stratifikasi) buatan mereka sendiri bahwa petani bukanlah profesi menjanjikan, jamak di alam pikir sebagian orang entah mayoritas per minoritas. Padahal sebagai satu dari sekian negara agraris sejatinya lingkup alam pertanianlah yang seharusnya dikembangkan entah dengan metode apapun, tanah pertanian dengan upaya paling purna adalah jaminan kesejahteraan petani itu sendiri.

Kaum tani (sama halnya buruh) barangkali menjadi golongan paling termarginalkan di negeri ini. Di masa lampau kemungkinan terbesar karena faktor kolonialisme dan feodalisme. Penjajahan sedemikian menyebalkannya hingga mempertanyakan kemanusiaan sama halnya mempertanyakan apa itu manusia.

Urusan pertanian sudah selayak-layaknya menjadi bahasan kekinian. Sementara kondisi paling mutakhir karena pandemi yang memaksa kita untuk bahkan sekedar mencukupi nilai dasar kebutuhan paling purba kita, perut. Makanan dengan segala urusannya adalah sumber energi dan melalui pertanianlah maka urusan ini akan ditemukan titik penawarnya. Makanlah atas nama kebutuhan energi kemanusiaan kita.

Saya Petani

Isu-isu pertanian rasanya adalah isu paling tidak menarik alih-alih semua orang lebih tertarik membicarakan urusan politik (praktis) semata, di meja makan, di dapur, di pasar-pasar bahkan di lorong-lorong gelap urusan politik entah kenapa semenarik itu. Relasi kuasa?

Tetapi memang iya, bahwa politik sedemikian menariknya karena ia mengatur terlalu banyak urusan. Tata niaga pertanian jua tidak tak pernah luput dari urusan ini. Perkuartal tahun ini meskipun jika menilik rilis media Indonesia bahwa terdapat cadangan stok beras 6,1 juta ton sesuai keterangan mentan. Tetapi alih-alih demikian jika menengok tahun-tahun lampau, Antara meliris data BPS Oktober 2019 maka jumlah impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton sedangkan jumlah impor beras dari Thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018). Indonesia negeri agraris itu.

Alih-alih data ini, maka selayaknya hal paling urgent adalah “empowerment” petani yang seharusnya menjadi isu bersama. Kita. Harga-harga anjlok pasca panen. Kita terlalu terbiasa menonton acara-acara demo para petani. Wilayah Dompu-Bima misalkan, harga jagung yang anjlok dengan isu deforestasi pada level paling nadir membuat kita bertanya sekali lagi, bapak dan ibu yang terhormat harusnya bikin program yang berpihak kepada petani kearah mana? Eksploitasi? Apa itu empowerment? Diskusi-diskusi?

Pada level ini. Sekali lagi, demikian adanya tantangan menjadi petani adalah tantangan yang paling susah. Bagaimana bahkan urusannya adalah harga bibit mahal, pupuk tetapi pasca produksi yang tidak pernah koheren dengan segala nilai ini. Bertani buat apa? Profesi kutukan?

Maka, menjadi petani di tahun 2020 selayaknya adalah menjadi petani yang melakukan “revolusi” entah dengan memakai varian definisi yang mana. Kesejahteraan atau semata kearah tidak mengerti harusnya apa profesi yang menjanjikan itu sementara secara finansial urusan bertani yang layak adalah bertani yang memberikan nilai lebih karena segala urusannya selalu saja punya korelasi. SPP anak, biaya kesehatan, urusan pendidikan bahkan urusan mendukung segala kegilaan lainnya atas nama modernitas dengan definisi lainnya. Per definisi masing-masing.

Bertani selayak-layaknya, sehormat-hormatnya adalah profesi paling menjanjikan, profesi purba sebab ia adalah ujung pangkal kemanusiaan itu sendiri. Tetapi bertani untuk apa jika di masa depan kita punya musuh bersama. Kapitalisme tidak baik yang membuat kita seolah terlempar kembali keabad kesekian, atas nama Kapitalisme, Merkatilisme dan Kolonialisme itu sendiri. Tuan kolonial, sultan-sultan lokal yang menjadikan manusia Indonesia sebagai budak, sapi perah dan lain, serendah-rendahnya makhluk.

Multatuli maha benar, maka catatan seabad lampau ini masih jua relevan hingga hari ini, “di tanah di mana mereka tidak pernah bisa bersukacita memotong padi yang mereka tanam sendiri.”