KORANNTB.com – Apa yang menimpa I Made Sudana warga Lingkungan Suren, Pegasangan Barat, Kota Mataram adalah sebuah bentuk ironi bagi masyarakat awam yang meminjam uang untuk sesuatu kebutuhan.

Tanah 6 are miliknya hilang karena tidak mampu membayar bunga utang yang begitu besar pada seseorang.

Kisahnya berawal pada 2011 dia meminjam uang Rp300 juta pada HRT (inisial). Nilainya Rp300 juta dengan sejumlah bunga.

Mereka kemudian pada seorang notaris sepakat untuk membuat akta perjanjian utang piutang uang di Kantor Notaris Petra Mariawati.

Perjanjian jangka waktu tiga tahun dengan jaminan hak atas tanah dan bunga sebentar dua persen setiap bulan selama tiga tahun.

Setelah proses di notaris, Made Sudana kemudian disuruh tanda tangan dan membubuhkan sidik jari pada lembar-lembar yang sudah disiapkan.

“Dalam penandatanganan akta perjanjian, tidak dibacakan terlebih dahulu oleh notaris isi perjanjiannya,” kata Made Sudana, Kamis, 1 Juli 2021.

Setelah proses perjanjian selesai, dia diberikan uang Rp200 juta dan bulan berikutnya diberikan sisanya Rp100 juta. Bahkan, bunga telah dipotong duluan oleh pemberi utang.

“Namun satu minggu berselang usai menandatangani akta perjanjian, saya ke kantor notaris meminta akta perjanjian, tidak diberikan,” ujarnya.

Itu berlangsung hingga lima kali datang ke kantor notaris, selalu tidak diberikan.

Waktu berjalan hingga 1 tahun 6 bulan, HRT datang ke lokasi lahan milik Made Sudana. Di sana ada beberapa kios. Dia menyuruh pemilik kios mengosongkan kios mereka karena tanah tersebut sudah dibeli dan semua bangunan akan dibongkar.

Made Sudana kemudian mendatangi HRT. Di sana HRT tidak mengakui batas pinjaman hingga tiga tahun. Dia juga meminta jika tanahnya mau dikembalikan, harus membayar Rp1,5 miliar.

“Saya hanya bisa membayar Rp500 juta, namun dia tidak mau,” kata Made Sudana.

Mediasi sebanyak tiga kali dilakukan di Polresta Mataram. Namun karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, polisi memberikan saran mengajukan gugatan perdata di pengadilan.

HRT memiliki kekuatan dari akta tanah yang telah dibalik nama. Sehingga membuat Made Sudana selalu kalah di pengadilan. Mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi di Mahkamah Agung hingga pengajuan peninjauan kembali atau PK selalu melahirkan putusan yang memenangkan HRT.

Padahal saksi notaris tidak pernah hadir di pengadilan karena sakit dan saat ini telah meninggal dunia.

Notaris Petra Mariawati dinyatakan melanggar etik karena sejumlah pelanggaran saat membuat akta perjanjian, di mana tidak membacakan isi perjanjian hingga tidak memberikan salinan perjanjian.

Namun entah mengapa, setiap persidangan justru memenangkan HRT.

Kini, lahan milik Made Sudana akan dieksekusi. Dia meminta keadilan agar lahan tersebut tidak dieksekusi. Apalagi, nilai bunga utang terlalu tinggi.

“Tanah itu adalah tanah orang tua. Ibu saya masih hidup. Saya hanya memperjuangkan tanah milik orang tua,” katanya. (red)