KORANNTB.com – Ketua DPD Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Nusa Tenggara Barat, Dr. Irpan Suriadiata, menyoroti penetapan tersangka yang dilakukan Polda NTB terhadap aktivis pemuda Fihiruddin.

Fihiruddin ditetapkan tersangka Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan.

Padahal, Fihiruddin hanya bertanya kepada Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda melalui WhatsApp Group. Dia bertanya benarkah ada rumor tiga oknum DPRD NTB ditangkap mengkonsumsi narkoba saat kunjungan kerja ke Jakarta, namun dibebaskan dengan membayar Rp150 juta per orang.

Alih-alih mendapatkan jawaban, Fihiruddin lantas disomasi apabila dalam waktu 2×24 jam tidak minta maaf, maka akan dilaporkan ke polisi. Karena tidak kunjung minta maaf, dia dilaporkan ke Cyber Crime Ditreskrimsus Polda NTB.

Irpan Suriadiata menilai penetapan tersangka terhadap Fihiruddin sangat dipaksakan oleh penyidik Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda NTB.

“Kasus ini terkesan sangat dipaksakan sekali. Dari sejak dilaporkan hingga penetapan tersangka, kok Polda atensi betul dengan kasus ini,” katanya, Jumat, 30 Desember 2022.

Itu berbanding terbalik dengan kasus-kasus besar yang saat ini ditangani Polda NTB. Namun justru kasus ITE Fihiruddin mendapat penanganan yang cukup serius.

Ironisnya lagi, Polda NTB menerapkan pasal SARA dalam kasus tersebut, padahal setiap unsur pada pasal tersebut tidak terpenuhi.

Penyidik kata Irpan tidak dapat menafsirkan pasal sesuka hati, karena perkara pidana menggunakan pembuktian materil.

“Pembuktian dalam perkara pidana itu pembuktian materil, kalau dalam konteks perkara sahabat Fihiruddin ini penyidik harus menetapkan Fihiruddin atas dasar apa yang ditulis oleh Fihiruddin, bukan atas dasar apa yang ditafsirkan orang lain atas tulisan Fihiruddin itu,” katanya.

Dia menegaskan, kasus Fihiruddin bakal memperburuk citra polisi dan merusak demokrasi yang terbangun di Indonesia, di mana bertanya kepada dewan memiliki konsekuensi pidana.

“Saya setuju marwah DPRD ini harus dijaga, dan marwah anggota DPRD juga harus dijaga, tapi bukan berarti dengan alasan karena harus menjaga marwah DPRD lalu rakyat tidak boleh bertanya. Jika ada rakyat bertanya ya jawab melalui media yang memuat pertanyaan itu,” ujar pria yang juga Ketua LPBHNU PWNU NTB ini.

Irpan mengatakan mempidanakan warga karena bertanya sangat menciderai demokrasi yang selama ini telah diperjuangkan Bangsa Indonesia.

“Saya sangat takzim terhadap pimpinan DPRD NTB khususnya ketua DPRD NTB, tapi soal nilai demokrasi, dan hak masyarakat untuk bertanya ini, harus saya sampaikan itu tidak boleh dibelenggu apalagi sampai dikriminalkan. Negara ini dibangun atas dasar dinamika yang sehat antar semua elemen, kita harus bersama-sama jaga itu,” ujarnya.

Penyidik diminta untuk mengevaluasi diri dan tidak main-main menerapkan pasal. Apalagi NTB pernah menjadi daerah nomor satu kasus ITE terbanyak. Polda NTB diharapkan bijak untuk menetapkan status hukum seseorang. Ditambah lagi dengan citra Polri yang saat ini sedang redup di masyarakat, maka sebaiknya Polda NTB lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu yang berkonsekuensi terhadap citra Polri.

“Sekali lagi kepada penyidik saya sangat berharap agar sungguh hati-hati dalam menjalankan proses penegakan hukum, karena di samping harus melihat aturan hukum, polisi juga bersama rakyat, jika rakyat hilang kepercayaan karena terlalu nyata kekeliruan dalam menjalankan tugas penegakan hukum itu akibatnya akan sangat buruk bagi bangsa ini,” katanya. (red)