Provinsi Pulau Sumbawa, Isu Andalan Menjelang Pemilu di NTB
KORANNTB.com – Menjelang Pemilu Legislatif 2024 di Nusa Tenggara Barat (NTB), rumor NTB akan terpecah dua menjadi Provinsi Pulau Sumbawa atau PPS santer terdengar. Isu tersebut sebagian besar muncul dari para tim sukses atau calon anggota dewan daerah pilih Pulau Sumbawa.
Para tim sukses atau calon anggota dewan berpikir, dengan mengangkat isu pemekaran provinsi akan mendulang suara yang besar untuk para calonnya.
Apalagi, dengan adanya potensi kekayaan alam di Pulau Sumbawa seperti tambang emas yang dikelola PT Amman Mineral di Kabupaten Sumbawa Barat, semakin membuat masyarakat yakin bahwa Pulau Sumbawa siap berdiri sendiri di luar Lombok.
Isu PPS ini disinyalir akan semakin menguat menjelang Pemilu Legislatif 2024 nanti. Tidak jarang berpotensi menimbulkan kegaduhan di jagat maya antara netizen di NTB. Terlebih lagi, muncul rumor pemerintah akan mengesahkan delapan provinsi baru yang sudah diloloskan dalam pembahasan pada 2023.
Masing-masing provinsi baru tersebut adalah Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Provinsi Bolaang Mongondow Raya, Provinsi Pulau Sumbawa, Provinsi Kapuas Raya, Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Selatan.
Pada 2023, baru empat provinsi yang telah disahkan, yaitu Provinsi Papua Pegunungan dengan ibukota Jayawijaya, Provinsi Papua Tengah dengan ibukota Nabire, Provinsi Papua Selatan dengan ibukota Merauke dan Provinsi Papua Barat Daya dengan ibukota Sorong.
Bagaimana dengan PPS?
Sejauh ini belum ada rencana pemerintah untuk membentuk PPS yang memisahkan NTB menjadi dua provinsi yaitu Provinsi NTB dan PPS atau Provinsi Pulau Sumbawa.
Sekretaris Daerah Provinsi NTB, Lalu Gita Ariadi, mengatakan isu pemekaran Provinsi NTB adalah misinformasi. Dia mengatakan jauh hari sebelumnya Komisi II DPR RI mengunjungi NTB untuk sosialisasi dan penyerapan aspirasi tentang pembuatan RUU Provinsi NTB.
“Tapi substansinya bukan pemekaran, melainkan penyesuaian dasar pembentukan Provinsi NTB,” katanya.
Dia mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, itu mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) saat Indonesia masih berstatus Republik Indonesia Serikat (RIS). Satu tahun kemudian Dekrit Presiden 5 Juli 1959 lahir yang mengharuskan kembali ke Undang-Undang Dasar. Namun sejauh ini belum ada perubahan tentang UU Pembentukan NTB, karena lahir sebelum dekrit presiden muncul.
Itu yang kemudian akan disesuaikan dengan undang-undang terbaru, sehingga RUU Provinsi NTB bukan berarti pemekaran Provinsi NTB menjadi dua, namun untuk menyesuaikan kondisi aktual yang dipandang perlu untuk NTB.
“Jadi bukan RUU Pemekaran ya,” ujarnya.
Jika menggunakan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, maka status NTB saat ini masih menjadi bagian Republik Indonesia Serikat. Sehingga NTB perlu memiliki undang-undang sendiri yang dapat mengakomodir segala potensi daerah maupun kearifan lokal setempat. Hal yang sama juga dengan Bali, jika mengacu pada undang-undang ini, maka ibukota provinsi masih di Singaraja, bukan Denpasar.
Masalah lainnya, dalam Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958, DPRD NTB terdiri dari 35 anggota dan DPD NTB berjumlah lima orang. Ini tidak relevan lagi dengan jumlah DPRD NTB saat ini 65 orang.
Sehingga rumor soal pemekaran tersebut belum sepenuhnya benar. Belum ada pembahasan khusus terkait pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa.
Itu diperkuat dengan munculnya Perpu Nomor 1 Tahun 2022, di mana pada Pasal 568A hanya mengatur penambahan pemilihan DPRD pada empat provinsi di Papua, sehingga rumor terbentuknya PPS pada 2023 ini tidak mungkin terlaksana.
Jualan Musiman
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr. Ihsan Hamid mengatakan isu pemekaran PPS bukan menjadi barang baru. Isu tersebut selalu dihembuskan menjelang Pileg.
“Pemekaran sebuah wilayah pada dasarnya bukan kewenangan daerah. Hanya mengusulkan. Sebetulnya isu ini bukan isu baru, kalau konteks ke Pileg bisa dibaca sebagai narasi jualan politik. Isu ini bukan barang baru,” katanya.
Jika isu tersebut menargetkan pemilih rasional, tentu sangat tidak efektif. Berbeda jika isu tersebut dimunculkan pada pemilih tradisional, maka akan sedikit berguna menaikkan pamor calon meskipun tidak dominan atau tidak memiliki efektivitas yang tinggi.
“Dalam segmen pemilih rasional atau pemilih yang memiliki literasi politik baik, isu ini tidak akan efektif. Kalau pemilih tradisional yang tidak kuat secara narasi politik bisa saja, walaupun efektivitasnya tidak terlalu dominan,” ujarnya.
Ihsan mengatakan isu ini menjadi jualan musiman yang telah muncul sejak lama. Namun bukan menjadi isu yang strategis.
“Ini suatu pola yang biasa bisa dibaca bukan pola baru dan bukan menjadi isu strategis. Bisa dianggap sebagai jualan musiman saja,” katanya.
Dia mencontohkan, dulu Fahri Hamzah saat menjadi legislator sangat getol mengkampanyekan isu PPS. Namun publik telah paham bahwa isu ini hanya lebih pada jualan musiman yang tidak pernah bisa direalisasikan.
Ihsan melihat ada tiga penyebab Sumbawa ingin dipisahkan dari NTB. Pertama dari segi jabatan publik yang lebih dominan orang di Lombok memegang jabatan di NTB. Namun itu kini tidak relevan lagi karena Gubernur NTB saat ini justru berasal dari Sumbawa.
Kemudian, penyebab lainnya adalah akses geografis ke ibukota provinsi yang jauh.
“Karena secara geografis NTB ini kan memanjang bentuknya, bukan bulat atau melebar. Jadi orang mau ke ibukota sangat jauh,” ujarnya.
Ketiga adalah sumber daya alam. Sektor pertambangan di Sumbawa khususnya di Newmont (kini Amman) diyakini memiliki pendapat asli daerah atau PAD yang paling besar untuk NTB.
“Namun sekarang PAD kita merata. Sehingga isu PPS tidak lagi relevan,” katanya. (red)