KORANNTB.com – Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 meyakini, kemenangan Rohmi-Firin dalam Pemilihan Gubernur NTB tahun 2024 akan banyak ditopang kerja mesin-mesin partai politik pendukung. Meski barisan relawan tetap bisa mengambil peran, namun Mi6 meyakini, peran relawan tak akan terlalu kuat dan dominan.

“Mesin partai, dengan struktur organisasi yang teratur dan koordinasi yang solid, menurut kajian Mi6 adalah tulang punggung keberhasilan dalam Pilkada. Sesuatu yang sulit dicapai hanya dengan mengandalkan relawan,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto di Mataram, Senin, 5 Agustus 2024.

Analis politik kawakan Bumi Gora yang karib disapa Didu ini menegaskan, loyalitas yang solid dari basis pendukung partai politik, akan selalu bersisian dengan dukungan yang konsisten dan berkelanjutan. Sebuah hal yang sering kali sulit dicapai oleh gerakan relawan karena mereka lebih heterogen.

Didu menegaskan, saat ini diduga telah terjadi pergeseran perilaku pemilih. Pemilihan legislatif tahun 2024 adalah bukti paling sahih untuk menunjukkan pergeseran tersebut.

Seperti diketahui, Pileg 2024 menunjukkan bagaimana kandidat petahana ramai-ramai tumbang, meski mereka sudah berkontribusi sangat besar kepada para konstituennya selama berbilang tahun. Namun, kontribusi berkelanjutan tersebut tak cukup mengantar mereka kembali sebagai wakil rakyat.

“Seperti Pileg 2024, Pemilihan Gubernur NTB diprediksi juga sedang dihadapkan pada pemilih yang pragmatis,” kata Didu.

Yang didefenisikan mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode ini sebagai pemilih pragmatis adalah diduga mereka yang cenderung membuat keputusan berdasarkan ‘keuntungan langsung’ atau praktis yang dapat diperoleh dari kandidat, alih-alih berdasarkan ideologi atau visi jangka panjang. Pemilih pragmatis sering kali diduga dipengaruhi oleh manfaat material atau janji-janji konkret untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.

Kata Didu, akan teramat sulit menaklukkan pemilih pragmatis jika hanya mengandalkan relawan belaka. Dalam hal ini, Didu mengungkapkan, kerja-kerja cerdas mesin partai akan sangat menentukan.

Dia menjelaskan, partai politik memiliki struktur organisasi yang jelas dari tingkat provinsi hingga ke desa-desa. Mereka memiliki kader yang berpengalaman dan terlatih dalam menjalankan kampanye dan mobilisasi massa. Terlebih, setiap anggota partai biasanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik, sehingga kampanye dapat berjalan secara sistematis dan terkoordinasi.

Sementara relawan, kata Didu, biasanya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang berbeda yang mungkin tidak terorganisir dengan baik. Koordinasi dan komunikasi di antara relawan juga sering kali kurang efisien. Mengingat tidak ada struktur hierarkis yang kuat, sehingga sulit untuk mengarahkan upaya secara konsisten.

Pada saat yang sama, butuh sumber daya finansial dan logistik untuk menghadapi pemilih yang kini lebih pragmatis. Dan partai politik memiliki akses ke sumber daya finansial yang lebih besar melalui dana partai, donasi, dan sumber pendanaan lainnya. Partai juga memiliki kemampuan untuk mengorganisir logistik tersebut.

“Kajian Mi6, relawan biasanya bergantung pada dana pribadi atau donasi kecil sehingga terbatas dalam hal pendanaan. Adanya keterbatasan dana seringkali mengurangi kemampuan relawan untuk mengadakan kampanye yang masif dan terstruktur,” ungkap Didu.

Dari sisi pengalaman dan jaringan, partai politik juga kata Didu jauh lebih mumpuni dibanding relawan. Partai politik memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam mengelola kampanye politik dan memahami dinamika pilkada. Jaringan partai mencakup tokoh masyarakat, pengusaha, dan media, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kinerja tim pemenangan.

Sedangkan relawan mungkin kurang berpengalaman dalam strategi kampanye dan manajemen pemilu. Pun terkait jaringan, relawan biasanya terbatas dan tidak sekuat jaringan yang dimiliki partai politik.