Antara Citra dan Kinerja: Mengurai Arah Pemerintahan Iqbal-Dinda
KORANNTB.com — Kritik tajam dan sorotan tajam mewarnai diskusi publik bertema “Quo Vadis Kebijakan dan Strategi Pemerintahan Iqbal-Dinda Berbasis Pencitraan” yang digelar di Tuwa Kawa, Mataram, Kamis (19/6).
Acara yang diinisiasi oleh Pojok NTB, WALHI NTB, dan Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 ini menghadirkan beragam suara, dari kalangan politisi, akademisi, aktivis lingkungan, hingga tokoh masyarakat.
Diskusi yang dimoderatori oleh Abdul Majid dan dibuka oleh MC Ridha Patiroi ini dimulai dengan pernyataan dari Ketua Panitia, Hendra, yang menyoroti kebijakan lingkungan di NTB, termasuk sektor pertambangan, laut, dan hutan. “Kebijakan ini yang kita tunggu. Mungkin dalam waktu 100 hari lebih ini, bisa kita nilai kebijakan itu apa sudah mengarah ke hal lebih bagus,” ujarnya singkat.
Cermin Retak dalam Politik Citra
Sorotan terhadap citra kepemimpinan Iqbal-Dinda mengemuka sejak awal. Anggota DPRD NTB dari PDI Perjuangan, Suhaimi, menyampaikan bahwa citra adalah refleksi jujur yang tidak bisa disembunyikan.
“Citra itu cermin. Namanya cermin adalah sesuatu yang selalu jujur. Dicipta untuk jujur tempat kita berefleksi. Jika kita sebagai publik figur, kita bukan menjadi subjek lagi, tapi sudah menjadi objek. Jadi apapun kelakuan kita akan menjadi penilaian masyarakat,” ujarnya.
Ia bahkan membandingkan kepemimpinan Iqbal-Dinda dengan Haerul Warisin yang menurutnya lebih memiliki inisiatif, walaupun terkesan dipaksa oleh tim sukses. “Justru (Iqbal-Dinda) dipaksa oleh Mi6 dan Pojok NTB untuk melakukan sesuatu,” sindirnya.
Sorotan Tajam terhadap Gubernur
Tokoh masyarakat dan eks Anggota DPRD NTB, Najamuddin Mustafa, menumpahkan kekecewaannya pada berbagai aspek pemerintahan Iqbal-Dinda, terutama terkait wacana perombakan Bank NTB Syariah dan pernyataan kontroversial sang gubernur dalam forum Musrenbang.
“Gubernur Iqbal terlalu vulgar berkata-kata. Dia mau membenahi Bank NTB Syariah tapi tidak mengerti historikal Bank NTB Syariah… Barang yang sudah baik, sudah sehat dibilang tidak sehat. Ini yang tidak sehat pikirannya, bukan Bank NTB Syariah,” kata Najamuddin.
Ia juga menyinggung soal anggaran daerah yang tak kunjung dieksekusi dan menuding adanya potensi permainan anggaran.
“Saya curiga Iqbal memainkan skema Silpa untuk dieksekusi pada APBD Perubahan. Sehingga ada banyak kue yang akan dibagi,” tegasnya.
Akademisi Bicara: Antara Realita dan Retorika
Guru Besar Universitas Mataram, Prof. Dr. Mansyur Afifi, mengkritik keras politik pencitraan yang menurutnya tidak menggambarkan substansi kepemimpinan.
“Efektivitas pembangunan diri kalau publik memiliki pemikiran yang sama. Jokowi mencitrakan diri sebagai orang biasa, berhasil karena SDM kita rendah. Tapi bagi intelektual, bukan pemimpin (Jokowi) berwawasan besar,” ujarnya.
Dekan FHSIP Unram, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, mengupas aspek legal dari kebijakan pemotongan anggaran.
“Kebijakan efisiensi itu sudah limitatif… Ada aspek wewenang, prosedur, dan substansi yang harus dikaji,” jelasnya.
Lingkungan dalam Krisis
Ketua WALHI NTB, Amri, membuka data yang mengejutkan soal kerusakan lingkungan yang meluas di NTB.
“Kami menolak kereta gantung di Rinjani. Ada 355 IUP yang berdampak pada kerusakan lingkungan… Tapi tidak ada skema pemulihan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa perluasan Kebon Kongok dan tidak adanya regulasi pembatasan plastik menjadi tanda bahwa pemerintah daerah tidak memiliki arah kebijakan lingkungan yang progresif.
“Aksi nyata tidak muncul. Tingkat keterancaman lingkungan hidup di NTB sangat luar biasa,” pungkasnya.
Citra Politik yang Kosong
Pengamat politik, Dr. Alvin Sahrin, mengingatkan bahwa politik citra tanpa kebijakan nyata hanya akan menipu publik.
“Citra politik penting tapi harus linear dengan yang terjadi di masyarakat… Dalam konteks kekuasaan Iqbal-Dinda, panggung depan tidak boleh sebatas beretorika tapi ada komitmen jelas,” katanya.
Diskusi Bebas yang Mendidih
Dalam sesi diskusi terbuka, berbagai suara kritis muncul. Ketua Logis NTB, M. Fihirudin, menuding adanya konflik kepentingan dalam proses seleksi Bank NTB Syariah.
“Ketua timses nyalon komisaris utama tapi diduga sudah keliling ke calon pansel… Ada juga isu atau dugaan amplop coklat dan amplop hitam. Itu harus dibuka DPR,” katanya. Ia juga mengkritik sulitnya akses OPD ke gubernur yang harus melalui tim sukses.
Di sisi lain, pendukung Iqbal-Dinda, Aweng, membela kepemimpinan mereka.
“Sebagai kader partai Gerindra, ini jalan kami untuk mewujudkan visi misi Iqbal-Dinda dan akan menjadi kado terindah untuk Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.
Namun, Ketua KNPI NTB, Taufik Hidayat menunjukkan kekecewaan mendalam. Ia menyoroti pernyataan Iqbal yang mengklaim “tidak punya rakyat”.
“Depan Mendagri dia sebut Gubernur tidak punya rakyat, emang dia dipilih oleh siapa?” katanya dengan nada kecewa.
Ia juga mengungkap bahwa janji meritokrasi hanya jadi slogan, sementara tim sukses justru mengisi posisi strategis seperti di Baznas dan BUMD.
“Iqbal pernah menyebut semua tim pemenangan saya tidak akan saya masukan ke BUMD. Faktanya justru ketua timnya nyalon komisaris bank daerah. Lima timsesnya juga jadi komisioner Baznas,” ujarnya.
Lebih lanjut Taufik mempertanyakan inkonsistensi pernyataan Iqbal dengan kenyataan. Iqbal dinilai hanya “omong besar” di hadapan orang pusat.
Isu Perempuan dan Pariwisata
Aktivis perempuan, Ni Putu Virgi Eka, menyoroti peleburan Dinas Perempuan dan Anak ke dalam dinas lain sebagai bentuk ketidakberpihakan pada isu perempuan.
“Walaupun wakilnya perempuan tapi keberpihakan ke perempuan tidak bisa dijamin,” katanya.
Ia juga mengkritik lambannya penanganan isu transportasi udara yang berdampak pada sektor pariwisata.
Diskusi ini memperlihatkan betapa tingginya harapan publik terhadap Iqbal-Dinda dan betapa banyak kekecewaan yang mulai muncul. Dari isu pencitraan, ketimpangan meritokrasi, konflik kepentingan, hingga krisis lingkungan dan sosial, semua mencerminkan bahwa perjalanan kepemimpinan Iqbal-Dinda sedang diuji keras.
Beberapa pihak masih memberi ruang waktu, namun suara mayoritas menuntut langkah nyata, bukan sekadar narasi.