KORANNTB.com – Israel menganggap Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka. Klaim sepihak itu didasarkan pada keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan. Padahal, secara historis jauh sebelum bangsa Israel muncul, Palestina yang dahulu dikenal dengan nama Kanaan telah dihuni oleh bangsa-bangsa kuno.

Penduduk Kanaan diyakini berasal dari Jazirah Arab sekitar 2500 SM. Wilayah Palestina berada di antara Laut Tengah, Laut Mati, dan Sungai Jordan. Pada masa awal Islam, peristiwa Isra’ oleh Rasulullah dari Masjid Al-Aqsa di Jerusalem menjadi penghubung awal antara Islam dan Palestina.

Kala itu Palestina masih dikenal dengan nama Syam, yang secara teritorial dikuasai Romawi Timur berpusat di Konstantinopel. Pada abad ke-7, wilayah itu sempat direbut Persia setelah mengalahkan Romawi dalam Perang Persia-Romawi. Namun, Romawi berhasil merebutnya kembali. Pada masa kekuasaan Romawi, ajaran Kristen berkembang di Palestina, sementara orang Yahudi diusir secara paksa dari wilayah tersebut.

Pada abad ke-4 Masehi, Kaisar Romawi Constantine membangun gereja-gereja di Jerusalem dan menjadikan kota itu sebagai pusat Nasrani. Catatan mengenai hal ini diulas dalam buku Hamas: Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionis Israel karya Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri RI 1999–2000.

Era Umar bin Khattab

Pada masa khulafaur rasyidin kedua, Umar bin Khattab menaklukkan Palestina dengan damai. Sejarawan Karen Armstrong menuliskan bahwa Umar memasuki Jerusalem dengan mengendarai kuda putih dan didampingi Uskup Sofronius. Umar meminta diantar ke Haram Assyarif, tempat Rasulullah melakukan Isra. Ia kemudian berdoa di sana, sebelum beranjak ke Gereja Holy Sepulchre. Saat ditawari untuk salat di gereja, Umar menolak dengan alasan kelak dapat menimbulkan klaim pembangunan masjid di lokasi itu. Umar memilih salat di tempat lain yang berdekatan. Kini di lokasi tersebut berdiri sebuah masjid kecil.

Era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah

Pada masa Umayyah di Damaskus dan Abbasiyah di Bagdad, toleransi antara Islam, Kristen, dan Yahudi tetap terjaga. Budaya Arab juga semakin mendominasi kehidupan masyarakat Palestina.

Era Perang Salib

Konflik besar kembali muncul pada masa Perang Salib. Paus Urbanus II memprovokasi bangsa Eropa untuk merebut Jerusalem dari tangan Muslim. Sekitar 150 ribu pasukan Salib, sebagian besar dari Prancis dan Normandia, bergerak menuju Jerusalem. Pada 1099, setelah pengepungan lima minggu, mereka berhasil masuk dan melakukan pembantaian terhadap Muslim dan Yahudi. Sekitar 40 ribu umat Islam terbunuh, dan Jerusalem dijadikan ibu kota kerajaan Katolik baru.

Era Salahuddin

Namun, kekuasaan Pasukan Salib tak bertahan lama. Pada 1187, Salahuddin Al-Ayyubi berhasil mengembalikan Jerusalem ke pangkuan Islam. Dengan menyatukan Mesir, Suriah, Mesopotamia, Aleppo, Damaskus, dan Mosul, Salahuddin menegakkan Dinasti Ayyubiyah. Penaklukan Jerusalem dilakukan tanpa pertumpahan darah, menunjukkan prinsip keadilan yang dipegang Salahuddin.

Era Turki Utsmani

Pada 1514, Palestina masuk ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Masa ini ditandai dengan stabilitas dan perdamaian, meskipun diwarnai keragaman agama antara Yahudi, Kristen, dan Islam.

Dominasi Barat

Ketika Turki Utsmani melemah, gelombang imigran Yahudi dari Eropa besar-besaran menuju Palestina, terutama ke Jerusalem, Safed, Tiberias, dan Hebron. Situasi berubah drastis setelah Perang Dunia I. Kekalahan Turki yang bersekutu dengan Jerman membuat wilayahnya dibagi-bagi oleh pemenang perang. Palestina kemudian berada di bawah pengawasan Inggris berdasarkan Perjanjian Sykes-Picot.

Imigrasi bangsa Yahudi di Eropa menuju ke Palestina dipicu munculnya gerakan Zionisme di akhir abad ke-19.(Wikipedia)

Deklarasi Balfour pada 1917 menjadi titik penting, saat Inggris menyatakan dukungan pendirian tanah air Yahudi di Palestina. Pada masa itu, Sultan Hamid dari Turki Utsmani sempat menolak permintaan Yahudi untuk membeli tanah Palestina. Namun, seiring melemahnya Utsmani, Yahudi semakin leluasa memilih wilayah. Holocaust di Eropa juga mendorong eksodus besar-besaran Yahudi ke Palestina.

Warga Palestina melakukan mogok massal, mendorong Inggris menggelar kongres di London pada 1946–1947. Namun, perundingan gagal menghasilkan keputusan, sehingga masalah Palestina diserahkan ke PBB. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB melahirkan Resolusi 181 yang membagi Palestina: 56 persen untuk Israel dan 44 persen untuk Arab.

Perang Arab-Israel

Berdasarkan Resolusi 181, pada 14 Mei 1948 Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Amerika Serikat dan Uni Soviet langsung memberikan pengakuan. Negara-negara Arab menolak pembagian wilayah itu, sehingga meletus Perang Arab-Israel. Kekalahan demi kekalahan dialami negara Arab, hingga perjuangan dilanjutkan langsung oleh bangsa Palestina.

Fatah dan Hamas

Dalam perjuangan modern, Palestina terbelah menjadi dua arus utama. Fatah memilih jalur negosiasi dengan Israel, sementara Hamas yang dikenal dengan nama Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyyah menolak kompromi. Bagi Hamas, Palestina adalah harga mati.

Awalnya Hamas enggan masuk ke ranah politik, membiarkan Fatah menjadi representasi utama. Namun pada 2006, Hamas memutuskan ikut pemilu dan berhasil meraih kemenangan, membuat Israel dan Amerika Serikat geram. AS telah lama memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris, sementara Israel dan Fatah menolak bekerja sama dengan kelompok tersebut.