KORANNTB.com – Puluhan siswa SMP 14 Mataram menyerang bangunan SDN Model Mataram saat proses belajar mengajar masih berlangsung, Jumat, 2 September 2022.

Penyerangan tersebut membuat puluhan siswa SD menangis histeris dan trauma. Guru-guru SD dengan cepat mengevakuasi para siswa SD menghindari serangan pelajar SMP.

Penyerangan tersebut membuat banyak siswa SD trauma. Pasca penyerangan, wali murid siswa SD bergegas membawa pulang anak mereka. Pelajaran yang semula berakhir pukul 15.00 WITA, harus dihentikan pukul 10.00 WITA saat serangan terjadi.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengatakan pada Senin besok akan menerjunkan tim psikolog untuk melakukan trauma healing kepada siswa SD yang ketakutan dan trauma.

“Banyak yang trauma. Ini kita identifikasi. Hari Senin kita jadwalkan tim psikolog untuk turun ke SD,” ujarnya.

Penyerangan tersebut buntut dari konflik yang panjang. SDN Model sejak 2016 meminjam lahan SMP 14 Mataram, karena kendala lahan. Sekolah milik Pemkot Mataram ini rencananya akan pindah dalam dua tahun sejak menumpang. Namun permasalahan lahan menjadi kendala, sehingga tidak kunjung pindah hingga kini.

Belum lagi faktor disparitas terbangun di dua sekolah yang berada dalam satu lingkungan tersebut. Terkesan, siswa SD yang berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, dibatasi untuk bergaul dengan pelajar SMP yang berasal dari keluarga kurang mampu dan berlatar belakang broken home.

“Saya melihat ada transfer energi negatif yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak, baik SD maupun SMP. Proses inklusi sejak awal tidak bisa dilakukan,” ujar Joko.

“Dari awal diseting bahwa yang SD jangan bercampur dengan SMP. Pola seperti itu menimbulkan permusuhan,” katanya.

Selain masalah tersebut, faktor kecemburuan sosial muncul. Siswa SD berada pada bangunan yang dilengkapi pendingin ruangan. Sehingga sering muncul stigma SDN Model adalah sekolah milik orang kaya. Sementara delapan kelas di SMP pasca dipinjam lahan mereka oleh SD, harus belajar di ruang berbahan spandek yang panas, bising dan sering menjadi langganan banjir.

Faktor lainnya, kata Joko, para guru baik SD maupun SMP sangat dingin dan jarang berinteraksi. Ini yang membuat energi negatif pada lingkungan sekolah tersebut.

“Saya melihat antara guru SD dengan guru SMP tidak terjadi komunikasi yang cair. Itu PR kita menetralisir itu,” ujarnya.

Pemkot Mataram diminta untuk menyiapkan lahan dan bangunan khusus untuk SDN Model Mataram. Namun Joko Jumadi paham bahwa itu membutuhkan anggaran banyak dan waktu yang tidak singkat.

“Itu harus disadari semua pihak, tidak bisa dilaksanakan secara instan. Harus ada bangunan, listrik, air hingga internet yang membutuhkan biaya dari APBD-P” katanya.

Solusi saat ini, Joko berharap para guru dapat mencairkan suasana dan tidak mengandalkan ego masing-masing. Sehingga tidak mentransfer energi negatif pada pelajar.

Joko melihat anak-anak SMP yang melakukan penyerangan juga sebagai korban dari sistem disparitas yang dibangun di dua sekolah yang berada dalam satu lingkungan tersebut.

“Solusi sementara saat ini ya mencairkan suasana dimulai dari guru-guru. Tidak bisa dengan ego masing-masing. Anak-anak SMP bagi saya korban juga,” ujarnya. (red)