Pada ruang kedua, kritik saya kepada HBK pada dasarnya merupakan autokritik kepada anggota DPR RI dari kalangan orang Sasak sendiri.  Saya teringin mereka seperti HBK yang, nyata-nyata bukan orang Sasak. HBK ialah pendatang yang mendapat ruang terbuka nan terhormat di kalangan Sasak karena HBK tahu dengan cepat apa yang paling diperlukan orang Sasak. Ini penting karena sebenarnya tidak semua anggota DPR RI Dapil Lombok yang bukan orang Sasak memiliki komitmen dan kiprah yang sama dengan HBK.  Ada di antara mereka yang hanya menjadikan Lombok sebagai lumbung suara, namun padi dalam lumbung ditumpuk dan digiling sendiri.

Saya menjadikan HBK sebagai medium autokritik terhadap orang sasak yang menjadi anggota DPR RI bukan karena mereka tidak berbuat. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh mereka lebih kepada mengurus kepentingan sendiri. Mereka adalah wakil rakyat yang belum selesai dengan diri mereka sendiri. Mereka memanen keuntungan dengan berbagai pola. Ada yang berpola pendidikan yang sepintas nampak berguna bagi masyarakat, namun sebenarnya ia merupakan lumbung pribadi. Ada juga berpola yayasan, namun sama saja. Yayasan untuk menabur emas di laci sendiri. Satu situasi yang secara objektif dapat dilihat sangat berbeda dengan apa yang diperbuat oleh HBK.

Dengan begitu, dalam masa yang sama, saya merasakan kecemburuan kepada HBK sekaligus kegeraman yang berlubang kepada mereka yang mengaku Sasak, menjadi wakil rakyat di DPR RI, namun hanya bertulang punggung belakang tidak menabur ke halaman orang Sasak.

Perbuatan wakil rakyat dari kalangan Sasak itu ialah watak dasar. Jadi, jika ada perubahan yang terjadi, bukanlah sesuatu yang besar. Mereka diberi kekuasaan untuk memagari rumah dan keluarga sendiri. Ini watak dasar yang saya maksudkan. Karena secara umum, mereka terlahir dari rahim sejarah yang sama dengan Sasak lainnya, maka begitu ada kekuasaan di tangan, momentum itu dijadikan titik balik untuk menyuburkan halaman rumah sendiri sepanjang kekuasaan itu masih di tangan mereka. Orang Sasak yang lain hanya dijadikan alas duduk (sentauk), lalau disirami tempias kecil. Sekadar sebagai pelipur bagi orang Sasak miskin. Mereka nihil visi besar kesasakan. Dan mereka tidak mengetahui keperluan dasar orang Sasak sebagai kesatuan bangsa. Mereka hanya fokus dan tahu kepentingan mereka sendiri saja. Sekali lagi, ini watak dasar sejarah orang Sasak yang juga melekat dalam diri wakil rakyat di DPR RI.

Kehadiran HBK dalam ruam perilaku wakil rakyat dari kalangan Sasak itu, menjadi antitesis yang tepat. HBK mungkin sudah selesai dengan diri sendiri sehingga dalam waktu yang singkat sudah mendalami keperluan dasar orang Sasak. Mengenali masalah utama Sasak ialah kemiskinan sistemik. Dengan begitu, maka diperlukan tindakan sistematis. Hal ini tercermin dari pola pemikiran dan tindakan HBK terkait Sasak. HBK seorang penguasaha, namun fokus usahanya tidak di Lombok. Sebab baginya, Lombok hanya untuk fokus kepada membantu orang Sasak keluar dari bilahan kemiskinan dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan peluang kehormatan.

Hanya saja, sebagai pengkritik pendewaan, sudah pasti saya tidak berada di wilayah mendewakan HBK. Itulah kenapa saya merefleksikan kritik saya terhadap HBK sebagai kecemburuan. Sebab bagi saya, apa yang dilakukan oleh HBK, seharusnya dapat lebih besar dilakukan oleh mereka yang menjadi wakil rakyat dari kalangan orang Sasak. Namun begitulah, sejarah rupanya terus berulang. Sebagai orang bukan Sasak, HBK malahan meninggalkan legasi yang sangat penting dan sesuai keperluan Sasak. Legasi, yang saya lihat akan memberikan dampak secara terus-menerus. Legasi yang susah habis, tetap hidup, dan selalu diterima oleh orang Sasak.

Dan salah satu legasi itu ialah anaknya: Rannya Agustyra Kristiono