Sementara PSU di Kota Mataram menurut jadwal bakal digelar pada Sabtu (24/2/2024) mendatang. Menurut rencana, PSU di 6 TPS hanya akan dihelat untuk kategori pilpres. Padahal, saran perbaikan dan temuan kasus di TPS relatif sama dengan di KLU dan Lombok Tengah.

Selain itu Najamuddin juga mengkritik sejumlah partai politik menyebarkan hasil tabulasi internal pileg (real count) kepada publik. Eks Ketua DPW PKB NTB itu menyayangkan sikap yang ditunjukkan parpol tersebut.

Menurutnya, parpol tersebut telah melewati batas kewenangan. Dan dari sisi etika, TGH Najamuddin berpandangan parpol yang bersangkutan tak memiliki ‘etika’ atau ‘adab’ politik yang baik dengan sesama kontestan pemilu. Oleh karenanya, ia meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menindaktegas pihak-pihak yang menyebarluaskan tabulasi internal tersebut.

“Boleh mekeja pegang data tapi kan untuk internal. Jangan dipublikasikan. Partai seharusnya menahan diri. Ini kan membuat gaduh, psikologis orang terganggu. Makanya saya minta Bawaslu untuk tidak tegas parpol yang begini. Harus ada ancaman, sanksi, bisa sampai diskualifikasi,” katanya.

Ia menduga kuat ada motif politis di balik disebarluaskannya data tabulasi internal parpol soal hasil pileg tersebut. Lebih jauh, ia berpandangan, data tersebut dapat memantik reaksi publik yang negatif dan bisa berdampak pada munculnya instabilitas (keamanan) daerah.

“Ini kan kurang ajar cara ini, enggak baik cara ini. Ini kan politis sekali. Bisa ribut para pendukung dan simpatisan di bawah. Saya tidak punya kepentingan apa-apa, Bawaslu jangan hanya beri jawaban normatif. Bawaslu jangan dong meminta masyarakat yang mengawasi, apa tugasnya mereka?” paparnya.

Anggota Komisi I DPRD NTB itu memberi contoh, beredar hasil real count salah satu partai yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak meraih satupun kursi DPR RI dari dua dapil yang ada di NTB. Menurutnya, spekulasi yang muncul sebab disebarluaskannya data tabulasi internal tersebut memunculkan keributan.

Partai politik, kata sambungnya, mesti berjalan di atas rel sebagai peserta pemilu. Tidak boleh bersikap sebagai lembaga yang menentukan siapa ‘menang kalah’. Ia pun meminta PDIP untuk bersikap.

“Contoh ya, dari mana mereka tahu kalau PDIP itu keluar? (tak kebagian kursi ke Senayan dari dapil NTB). Ini kan ndak boleh, PDIP seharusnya keberatan, ndak boleh diam saja. Makanya Pak Rachmat harus bersikap. Ini kan sama artinya dia dikeluarkan dari gelanggang oleh orang yang tak punya otoritas. Bukan oleh wasit. Sesama pemain jangan jadi wasit lah, merangkap mereka. Ini kan memicu kegaduhan,” tegasnya.