KORANNTB.comPenyidik Kejaksaan Negeri Mataram menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD Lombok Barat tahun anggaran 2024. Penetapan ini dilakukan setelah proses penyidikan menemukan sejumlah perbuatan yang dinilai melanggar ketentuan pengelolaan kegiatan pengadaan barang yang dialokasikan untuk masyarakat.

Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhyana, menyampaikan bahwa empat tersangka tersebut terdiri dari satu anggota DPRD Lombok Barat berinisial AZ, dua ASN Pemkab Lombok Barat masing-masing Hj. DD dan H. MZ, serta seorang pihak swasta berinisial R.

“Hari ini penyidik Pidsus menetapkan empat orang sebagai tersangka,” jelas Made Pasek dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 14 November 2025.

Kasus ini berawal dari penganggaran di Dinas Sosial Lombok Barat untuk kegiatan belanja barang yang akan diserahkan kepada masyarakat pada tahun 2024 dengan total nilai mencapai Rp22,2 miliar. Anggaran tersebut terbagi menjadi 143 kegiatan, di mana 100 di antaranya berasal dari Pokir anggota DPRD setempat. Dari jumlah itu, terdapat 10 paket khusus yang terkait tersangka AZ dengan nilai Rp2 miliar. Paket tersebut terdiri dari delapan kegiatan pada Bidang Pemberdayaan Sosial dan dua kegiatan pada Bidang Rehabilitasi Sosial.

Menurut Made Pasek, AZ diduga melakukan sejumlah tindakan yang dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Ia disebut mengintervensi proses pengadaan barang yang seharusnya menjadi kewenangan pejabat pengadaan, PPK, atau KPA.

“Melakukan pembelanjaan sendiri terhadap kegiatan pemerintah daerah. Sehingga mengaburkan peran penyedia barang/jasa dan melanggar asas pengadaan,” bebernya.

Selain itu, AZ dituding mengatur dan menunjuk langsung penyedia, yakni tersangka R, sebagai pemenang kegiatan. Ia juga memerintahkan pembuatan proposal fiktif serta melakukan mark up jumlah penerima manfaat.

“Melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan melibatkan diri dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah. Seharusnya bersifat eksekutif, bukan legislatif,” ungkapnya.

Peran R dalam perkara ini adalah bersedia menjadi penyedia yang ditunjuk langsung tanpa mengikuti proses pengadaan sesuai ketentuan. Ia tidak melaksanakan pekerjaan sebagaimana tercantum dalam kontrak, namun membiarkan AZ mengambil alih seluruh pelaksanaan kegiatan. R hanya berfungsi sebagai penyedia fiktif dan tetap menerima keuntungan sebesar lima persen.

“Sehingga terjadi moral hazard dan perbuatan memperkaya diri sendiri tanpa dasar hukum,” ucap Made Pasek.

Untuk dua ASN, yakni Hj. DD dan H. MZ, penyidik menemukan bahwa keduanya tidak melakukan survei harga saat menyusun HPS. Penetapan harga hanya didasarkan pada ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga Kabupaten Lombok Barat tahun 2023. Akibatnya, nilai kontrak yang ditetapkan jauh di atas harga pasar sehingga menimbulkan kemahalan harga.

“Melakukan pengaturan pemenang bersama Tersangka H. AZ, dengan menunjuk langsung penyedia tertentu (tersangka R),” tegasnya.

Selain itu, keduanya dinilai tidak melakukan pengendalian kontrak serta pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan. Sejumlah pekerjaan bahkan tidak sesuai dengan isi SPK atau kontrak yang berlaku.

“Menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan,” katanya.

Dari seluruh rangkaian perbuatan para tersangka, penyidik menemukan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp1,7 miliar berdasarkan laporan audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Inspektorat Kabupaten Lombok Barat.

“Tersangka H. AZ dan tersangka R kami tahan di Rutan Lombok Barat. Sedangkan untuk tersangka Hj. DD, dan H. MZ, akan kami panggil kemudian,” ujar Kepala Kejari Mataram.

Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Alternatif lainnya adalah Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.