KoranNTB.com – Hampir mendekati angka 500 jumlah petugas KPPS yang meninggal akibat kelelahan dalam mengawal pelaksanaan pemilu serentak 2019. Mereka meninggalkan anak dan istri demi mengawal bendera demokrasi tetap berdiri di bumi Pertiwi.

Tidak sampai di situ, banyak juga petugas KPPS yang keguguran akibat kelelahan.

Jika flashback ke belakang, gagasan pemilu serentak lahir dari ide Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Effendi Gazali yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Dia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres).

Effendi beranggapan, pemilu saat itu yang tidak serentak berimplikasi pada borosnya anggaran. Dia berasumsi jika pemilu dilaksanakan serentak, maka akan menghemat anggaran sekitar Rp120 triliun.

Penghematan yang dimaksud bukan pada penyelenggara pemilu, tetapi berkaitan dengan biaya kampanye oleh pihak yang terlibat pemilu, hingga pencegahan politik uang.

Biaya politik yang tinggi inilah mendorong dia mengajukan judicial review ke MK pada 2013. Singkatnya, pada 2014 MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan. MK memutuskan pemilu dilakukan serentak namun berlaku pada 2019. Alasannya, karena saat itu sangat dekat dengan pemilu 2014.

Ketua MK saat itu adalah Hamdan Zoelva, seorang tokoh nasional asal Kota Bima, Nusa Tenggara Barat.

Hamdan Zoelva menjabat Ketua MK pada 6 November 2013 hingga 7 Januari 2015. Dia menggantikan Akil Mochtar yang tersangkut kasus korupsi.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pemilu serentak resmi berlaku. Selain Hamdan Zoelva, hakim anggota yang memutuskan pemilu serentak adalah Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim,  Anwar Usman dan Patrialis Akbar.

Meskipun demikian, seorang hakim Maria Farida berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan hakim konstitusi lainnya. Maria berpendapat permohonan judicial review Effendi Ghazali ditolak karena berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan awal, jika pemilu serentak dilaksanakan, maka menjadi masalah baru terkait waktu pelantikan presiden, di mana presiden harus menanti terbentuknya anggota MPR untuk melantik, sementara anggota MPR terdiri dari DPR dan DPD yang mengikuti pemilu serentak.

Selain itu banyak faktor yang menjadi alasan Maria menolak pemilu serentak yang diuraikan dalam dissenting opinion.

Perlu diketahui, lahirnya putusan MK tidak hanya saat Hamdan Zoelva menjadi ketua. Namun sebelumnya materi tersebut pernah dibahas saat Mahfud MD menjadi ketua dengan anggota Hamdan Zoelva, Akil Mochtar dan lainnya. Saat itu dilaksanakan rapat permusyawaratan hakim pada Selasa, 26 Maret 2013. Alotnya persoalan tersebut membuat judicial review belum dikabulkan hingga Mahfud MD berakhir masa jabatannya.

Materi kemudian dilanjutkan ke Akil Mochtar. Namun, hingga Akil ditangkap KPK pada 2 Oktober 2013, salinan putusan belum kunjung selesai. Alotnya persoalan itu  berujung dikabulkan pada Kamis, 23 Januari 2014 dengan ketua Hamdan Zoelva.

Tokoh NTB yang juga mendukung pelaksanaan pemilu serentak saat itu adalah Din Syamsuddin. Menurutnya, pemilu serentak sangat efisien dan menghindari transaksi partai politik. Dia mengaku bersama Muhammadiyah telah berdiskusi soal pemilu serentak. (red/3)