KoranNTB.com – 26 Mei 1959 merupakan hari pertama Aceh mendapatkan status sebagai daerah istimewa. Aspek agama, adat dan pendidikan bahkan peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah serta politik merupakan bagian dari aktualisasi keistimewaan daerah Aceh.

Status istimewa itu tidak datang dengan sendirinya. Para pejuang Aceh mempertahankan kemerdekaan merupakan alasan Aceh pantas mendapatkan status tersebut. Banyak pejuang yang heroik di medan perang. Belum lagi, Aceh juga berkontribusi besar dalam pembelian pesawat pertama Indonesia.

Landasan tersebut menjadikan Aceh menjadi daerah khusus atau istimewa. Menjalankan hukum sesuai syariat Islam. Sehingga sering didengar hukum cambuk berlaku di Aceh.

Pada bagian pendidikan, Aceh juga diberi ruang khusus untuk menempatkan materi muatan lokal sesuai syariat Islam.

Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.

Sementara Papua, diberikan otonomi khusus yang hampir sama dengan Aceh. Namun histori pemberian otonomi khusus berangkat dari konflik yang sangat panjang di Papua. Bahkan, Presiden GusDur kala itu mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, karena kepergian Jawa jika anak sakit terus menerus, diperlukan mengganti nama. Kondisi inilah membuat Irian Jaya berubah nama. Selain itu, GusDur mengatakan Irian dalam bahasa Arab berarti telanjang, karena saat pertama orang Arab datang ke sana, mereka menemukan penduduk setempat dalam kondisi telanjang.

Otonomi khusus tersebut diberikan guna membuat masyarakat Papua percaya pada Indonesia soal kesetaraan keadilan, sehingga dapat menuntaskan permasalahan di sana.

Ketidakadilan

Aceh dan Papua sama-sama daerah yang memiliki keistimewaan dibandingkan daerah lain. Jika Aceh diberikan keistimewaan di atas, Papua juga diberikan uang triliunan setiap tahunnya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun faktanya, kucuran dana tersebut tidak berbuat banyak untuk pengentasan kemiskinan. Masih banyak masyarakat Papua hidup di garis kemiskinan.

Bagi masyarakat Papua, otonomi khusus masih ilusi kala itu. Meskipun saat ini Jokowi mulai membangun kembali timur Indonesia untuk kesetaraan pembangunan. Program tersebut bernama Indonesia Sentris.

Lain lagi ketidakadilan di Aceh. Banyak korban konflik saat ini hidup di tengah kemiskinan. Bantuan belum kunjung datang secara merata pada mereka. Kekesalan tersebut membuat mereka mengalihkan dukungan pada Pemilu 2019 kemarin.

Namun persepsi soal Jokowi “gagal” menjaga Islam menjadi hal paling utama alasan warga Aceh beralih dukungan. Masyarakat yang dikenal dengan religiusitas, sangat mudah menangkap stigma miring tentang pemerintahan Jokowi dan Islam.

Narasi Korban Pilpres

Isu referendum Aceh yang dimunculkan mantan tokoh GAM,  Muzakir Manaf “ditelan” bulat-bulat para simpatisan tokoh yang gagal terpilih pada Pilpres 2019. Ramai-ramai mendukung referendum Aceh dengan mengaitkan narasi kebencian pada Jokowi.

Alasan yang diberikan untuk mendukung wacana referendum adalah ketidakadilan. Namun justru mereka tidak adil pada Papua, yang jauh hari meminta merdeka karena ketidakadilan.

Saat wacana Papua merdeka digulirkan kelompok kriminal bersenjata (KKB), mereka tegas meminta status Papua sebagai Daerah Operasi Militer. Tidak peduli dampak Indonesia di mata internasional.

Bagi mereka, KKB yang ingin memerdekakan diri adalah kelompok teroris. Mereka pun membawa narasi panjang soal sejarah Indonesia ini disatukan.

Perbedaan sikap tentang Aceh dan Papua yang menuntut kemerdekaan tentu tidak terlepas dari hasil Pilpres 2019. Mereka terjebak pada standar ganda yang mereka ciptakan soal persatuan dan NKRI. (red)