Cerita Santriwati saat Hadapi Teror Gempa Lombok
Kisah seorang santriwati saat terjadi gempa Lombok 2018.
Tina Suryani
KORANNTB.com – Nama saya Tina Suryani, saya berasal dari Montong Tangi Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur. Saya ingin ikut bercerita bagaimana kejadian gempa yang waktu itu saya rasakan.
Singkat cerita, gempa untuk pertama kali terjadi, masih kuat dalam ingatan hari itu hari ahad tanggal 29 Juli 2018 (sudah setahun ternyata), bertepatan dengan HULTAH NWDI di Pancor, saya salah satu Thollibat Ma’had DQH NW Pancor.
Waktu itu sekitar pukul 7 kurang lebih usai mandi dan sholat duha saya dandan dan memakai seragam ma’had karena hari itu saya harus ikut mengaji, dan kami thullab (santri laki-laki) dan thollibat (santri perempuan) khusus ma’had harus berada di barisan terdepan, sedangkan ibu dan adek saya sedang mandi di kamar mandi.
Saya masih saja sibuk dengan jilbab yang saya ingin kenakan, enggak bisa benar-benar rapi, tiba-tiba saya mendengar suara yang gemuruh seperti suara mobil truk ngangkut tanah atau pasir. Ini baru suaranya aja getarannya belum terasa makanya saya mikir darimana datangnya truk ini ya? Tapi setelah saya ngerasain goyangangannya masya Allah saya langsung keluar dengan teriak Allahuakbar Astaghfirullah Laaillahaillallah..
Semua seisi kos keluar, saya sendiri keluar gak pake jilbab hanya sudah memakai baju dan kain saja, yang lain keluar dengan masih belum sadar sepenuhnya dari tidur mereka. Untungya tidak ada laki-laki yang melihat. Pusat gempa ternyata berada di sekitar sembalun dengan kekuatan 6,4 SR korban tewas ada 20 jiwa, sedangkan luka luka sekitar 401 Jiwa.
Kemudian ibu dan adek saya keluar dari kamar mandi, ibu ngira bukan gempa. Astaga Ibu.. Selesai bersiap siap kami jalan ke medan hultah, dan di sana kami ngerasai gempa susulan berkali kali syaikh dari Mesir mengajak kami mengucapkan Laa illahaillallah aamanna billah..
Gempa Kedua yang benar-benar jadi kenangan, Malam Senin 5 Agustus 2018, berkekuatan 7,0 SR berpusat di KLU, dan menyebabkan banyak bangunan yang roboh, ditambah dengan listrik padam yang membuatnya tambah ngeri.
Saya ngekos di Pancor Sanggeng, gempa memang membuat siapa saja menjadi ingat Allah, sebagai seorang thollibat saya memenuhi kewajiban dengan pergi mengaji, tradisi ma’had pada setiap malam selalu mengisi Al-Abror (Musholla yang dibangun oleh Almaghfurulahu Maulana Syaikh di masa silam).
Dari magrib sampai jam sembilan. Diskusi malam setnin biasanya diisi oleh TGH Abdul Aziz Sukarnawadi, tapi waktu itu beliau tidak hadir dan diisi oleh persenatan (Presma) sekedar membahas diskusi yang telah lewat sampai Isya, kemudian diskusi ditutup dengan doa dan sholat Isya berjamaah.
Saya ingat betul selesai salam langsung disambut dengan getaran yang begitu dahsyat yang saya rasakan, semua kita lari kabur, kami begitu takut, cemas kalau bangunan akan pada roboh semuanya. Kami bingung mau lari ke mana, di sanalah momen di mana saya begitu merasa sekali banyak dosa sungguh benar benar banyak dosa.
Saya menangis sejadi jadinya saya berpikir mungkin karena dosa saya makanya Allah marah, saya teringat ayah ibu dan adek di rumah harap harap cemas apakah mereka baik baik saja.
Dan saya masih saja meraung menangis. Adik kos saya mencoba menenangi dan setelah semuanya tenang saya mulai berhenti menangis dan kembali ke kos masing masing. Saya hanya berdua di kos bersama adek Ani namanya, yang lain pulang ke rumahnya karena libur di universitas.
Teror Tsunami
Kami tidak berani tidur di kos karena kebetulan ada rumor bahwa ada hantu yang tidak punya tubuh hanya ada kepala dan isi perutnya saja (mengerikan kalau dibayangin). Sepulang dari Al-Abror, saya dan adik Ani makan, tiba-tiba orang di luar ramai berteriak teriak, saya dan adik Ani ikut keluar.
Saya nanya ada apa di salah satu pemuda yang sedang berdiri, dia jawab air laut naik (Labuhan Haji) dan yang lain pada kabur ke sana ke mari. Mereka berteriak cari bangunan yang tinggi katanya, kemudian saya dan adik Ani ikut lari. Saya tidak memakai sandal, cuma memakai celana panjang, baju pendek dan jilbab besar, saya tidak tau mau lari ke mana.
Saya mikir kalau saya lari ke gedung Ma’had saya takut akan gempa dan roboh menimpa kami, Astagfirullah benar benar menakutkan, sebagian ada yang lari ke Abror dan di sanalah kami langsung membaca hizib.
Usai membaca hizib kami disuruh pulang ke kos masing masing, karena tidak akan terjadi apa-apa katanya, tapi malam itu saya tidur di masjid Sangeang, dan merasakan beberapa kami hentakan dari gempa, tapi yang lucunya dihentak sedikit bangun ingin kabur dari masjid tapi gak jadi begitu saja seterusnya sampai pagi.. Hii lucu sih kalau diingat…
Gempa yang ketiga yang juga menjadi kenangan waktu itu, malam Senin 20 Agustus 2018 yang berkekuatan 6,9 SR. Pada siang harinya sebelum malam Senin kami merasakan gempa juga, ceritanya begini, waktu itu kami sedang belajar fiqh bersama TGH Ahmad Syafi’i sekitar jam 12 kami membahas bab “nikah” wanita yang tidak boleh untuk dinikahin dan lain lain.. Dan iya kelas kami berada di lantai dua (Allahu Akbar).
Dan tiba-tiba di tengah pelajaran di tengah rasa kantuk kami dikejutkan oleh getaran yang kami sudah tidak asing lagi, hentakan pertama kami masih diam, di dalam ustadz masih membimbing untuk kami selalu membaca La illahaillallah aamanna billah, namun gempanya masih terasa sekali di lantai dua apalagi iya di lantai tiga saya meliat arah luar dan Masya Allah semua bangunan pohon pohon itu bergoyang semakin besar dan semakin besar, teman teman sudah berdiri ingin berlari, saya melihat arah ustadz, saya tidak memikirkan diri saya sendiri, pandangan saya fokus tertuju kepada ustadz, karena beliau sudah lanjut usia, semuanya pada lari, saya cuma membawa lari satu kitab fiqih yang saya pegang sedangkan buku dan tas kecil, saya tinggalkan, saya menghampiri ustadz lalu saya pegang tangan beliau tanpa basa basi saya langsung gandeng ustadz untuk mengajaknya lari, ya Allah sedih sekali beliau bilang “pelan-pelan nak”.
Setelah melewati tangga-tangga Thullab thullab naik untuk menjemput ustadz tapi kami sudah nyampai di bawah dan semuanya berkumpul di bawah mecari lapangan yang agak luas. Di bawah bangunan itulah kami semua berkumpul lalu berdoa dengan do’a sapu jagat yang dipimpin oleh Amidul Ma’had yaitu TGH Yusuf Ma’mun. Dan kami di suruh pulang.
Kemudian di malam harinya di kos saya bersama teman-teman kos, dek Ani, dek Misna, dan teman teman yang lain. Kami berhati-hati dengan tidur di luar, sedangkan laki laki di dalam, sekitar hampir jam 11 lebih waktu itu saya masih belum tidur, dan dua adik kos saya sudah tidur pulas, dengan secara tiba tiba juga kami dihentak dengan gempa lagi (tapi bedanya kami sudah siap menghadapi gempa) rasanya begitu besar dan lama, lebih besar ketika di Abror.
Kami lari dan tiba tiba listrik padam, gerbang terkunci, tempat kami ngekos sempit halamannya sedikit, bangunan tinggi tinggi, tidak ada dari kami yang ingat mengambil kuci gerbang, kami hanya lari dan tiba di depan gerbang baru ingat gerbang terkunci, adek Ani malah teriak, malah gedor-gedor gerbang dan itu gempanya masih terasa, rumah rumah begitu jelas terlihat bergoyang. Setelah bisa keluar dari kos kami disuruh warga untuk menuju sawah, di sanalah kami tidur dengan warga dengan tikar seadanya, selimut seadanya, dan malam itu benar benar diingin, selimut sampai basah terkenan embun.
Paginya saya di jemput bapak dan adik disuruh pulang, di rumahpun tidur di luar di bawah tenda buatan sendiri kecuali ayah selalu tidur di dalam. Sampai kami sudah terbiasa dengan gempa, gempa lari keluar begitu terus sampai sekarang.
Kirim artikel Anda di [email protected] (sertakan foto Anda)