Taufan, S.H., M.H – Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram

Aksi kolektif penolakan terhadap revisi UU KPK dan pengesahan beberapa rancangan undang-undang mendominasi media beberapa hari terakhir. Aksi yang dilakukan ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terus meluas di berbagai daerah dan disertai adegan kericuhan, lempar batu maupun gas air mata. Di Kota Mataram pun demikian. Di Kendari Sulawesi Tenggara, seorang mahasiswa tewas dalam aksi.

Tanggal 24/09/2019 Pemerintah dan DPR telah memutuskan untuk menunda pengesahan beberapa rancangan undang-undang. Kemudian, pada 26/09/2019, Presiden Jokowi menyampaikan akan mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menyikapi penolakan revisi UU KPK, sebelumnya Jokowi bersikeras menolak mencabut UU KPK yang telah direvisi dan disahkan. Untuk penerbitan Perppu, Jokowi menyatakan terlebih dahulu melakukan perhitungan, kalkulasi dan kemudian diputuskan.

Persoalan pokok dalam revisi UU KPK menurut KPK (www.kpk.go.id, 6/09/2019), yaitu: independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Pada kesempatan dalam acara talkshow salah satu stasiun televisi, ahli hukum pidana, Romli Atmasasmita sebagai salah satu anggota tim perumus rancangan UU KPK membantah revisi UU KPK sebagai upaya pelemahan KPK. Romli menyampaikan bahwa perlu dicermati substansi pasal revisi UU KPK. Menurutnya, revisi UU KPK berangkat dari berbagai pertimbangan, di antaranya kinerja KPK yang selama ini bermasalah, untuk itu pula diperlukan adanya Dewan Pengawas KPK. Diakui oleh Romli bahwa pada awalnya KPK memang dibentuk dengan alasan keadaan pada waktu itu menuntut kewenangan KPK yang kuat dan perlu menabrak HAM dan hukum acara pidana. Saat ini kebutuhan hukum terhadap KPK berbeda, mengikuti perkembangan masyarakat dan perlu ditertibkan agar sejalan dengan prinsip HAM dan hukum pidana.

Pernyataan Romli Atmasasmita tersebut, mungkin ada benarnya, KPK perlu diawasi dan perlu substansi yang sejalan dengan HAM dan hukum acara pidana, termasuk menghentikan penyidikan dan penuntutan melalui SP3, dalam perspektif kepastian hukum dan perlindungan HAM, itu dibutuhkan dalam kasus yang terdapat ketidakjelasan. Walau kita semua kembali berharap dan berdoa nantinya digunakan dengan tepat.

Jika ada keinginan KPK “ramah” terhadap HAM dan disejajarkan dengan penegak hukum lain, maka kita perlu merenungkan kembali esensi dari pembentukan KPK.
Kemudian, berkaitan dengan pernyataan adanya banyak permasalahan internal ataupun kinerja KPK yang mendasari pentingnya diawasi, langkah yang relevan adalah perbaikan struktur atau tata kelola kelembagaan serta memperketat proses rekruitmen sebagai langkah antisipatif, bukan memangkas kewenangan kelembagaan KPK.

Selain itu, dari pernyataan Romli Atmasasmita, terdapat bagian yang meninggalkan kesan bahwa badai korupsi sudah berlalu, dan keadaan sudah membaik. Maka, tidak diperlukan lagi kekuatan independensi KPK. Konsistensi pernyataan revisi UU KPK (hukum pidana formil) sebagai upaya pembaharuan hukum sesuai kebutuhan masyarakat harusnya diimbangi dengan pembaharuan ketentuan tindak pidana korupsi (hukum pidana materil) yang diatur UU No.31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 dengan mencermati United Nations Convention Against Corruption.

Corruption Perceptions Index (CIP) yang dikeluarkan oleh Transparency International setidaknya dapat menjelaskan beberapa bagian keadaan korupsi di Indonesia. CIP menggunakan penilaian indeks korupsi skala 0-100. Nilai 0 artinya paling korup, sedangkan nilai 100 berarti paling bersih. Pada tahun 2018, CIP Indonesia berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini meningkat 1 poin dari tahun 2017. Pada tahun 2017, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dengan nilai 37. Nilai Indonesia tahun 2017, kalah 1 poin dengan Timor Leste yang berada di peringkat 91 dengan nilai 38. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90 dari 176 negara dengan skor 37. Ini berarti bahwa Indeks persepsi korupsi Indonesia dari tahun 2016 ke 2017 mengalami penurunan peringkat dengan nilai yang tidak mengalami perubahan. Sedangkan tahun 2018 meningkat 1 poin.

Dilihat dari perbandingan nilai yang diperoleh Indonesia di tahun 2016 dengan tahun 2017, mencerminkan tidak ada perkembangan dalam mengakhiri korupsi di Indonesia, sedangkan tahun 2018 Indonesia berhasil menambah 1 poin. Transparency International Indonesia kemudian menyerukan kepada presiden dan pemerintah untuk ikut menjaga dan melindungi independensi KPK dalam menjalan fungsi penegakan hukum. Sedangkan bagi KPK agar terus mempertahankan independensi kelembagaannya sebagai lembaga penegak hukum.

Berpijak pada hal di atas, perubahan substansi pada UU KPK jelas tidak menoleh pada seruan Transparency International, dan tidak melakukan pembaharuan hukum pidana materil sebagaimana diarahkan oleh United Nations Convention Against Corruption.

Pada awal kemunculannya, KPK merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan lembaga penegak hukum yang ada untuk menyelesaikan masalah korupsi. KPK lahir dari amanat UU No.31 Tahun 1999 sebagai hukum pidana khusus (lex specialis) yang memiliki kekhususan sesuai dasar pembentukannya. Berdasarkan pemikiran dasar pembentuk undang-undang, pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana tertulis dalam penjelasan umum, dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Cara-cara yang luar biasa juga direpresentasikan melalui “superioritas” KPK dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Keterlibatan komponen dalam anggota maupun pimpinan KPK perlu memperhatikan hasil kajian Global Corruption Barometer 2017 yang menaksir tingkat korupsi di kawasan Asia-Pasifik bahwa kepolisian dipandang sebagai institusi paling korup, diikuti tiga ke bawah yaitu badan legislatif, pejabat pemerintah pusat, pemerintah/badan perwakilan daerah. Publikasi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2018 menunjukkan institusi Kepolisian, Pengadilan, dan PNS memiliki indeks korupsi yang tinggi.

Penting pula kiranya DPR bersama Presiden melakukan revisi terhadap UU No.31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, sebagai hukum pidana materil yang memberikan kualifikasi perbuatan korupsi, pertanggungjawaban maupun sistem sanksi. Sehingga, sebelum itu dilakukan, baiknya juga menyingkap esensi korupsi, termasuk menyoal definisi korupsi.

Hery Priyono (2018) menuliskan bahwa korupsi bukan istilah penunjuk seperti misalnya membunuh dan penyuapan, melainkan istilah penilai seperti misalnya jahat. Yang korup bisa saja melibatkan inefisiensi dan legalitas, tetapi korupsi jauh lebih mendasar dari sekedar inefisiensi (soal cara) dan ilegalitas (soal prosedur). Yang lebih mendasar adalah, pencarian ciri moral korupsi  dan mengapa ia disebut korupsi.