YAN MANGANDAR PUTRA, SH., MH
(Koord. Penanganan Kasus Relawan Sahabat Anak dan Pendiri PBH Mangandar)

Kualitas Interaksi anak dan lingkungan sosial terdekatnya (orangtua/keluarga) mempengaruhi perkembangan kepribadian selama masa kanak-kanak dan remaja bahkan pada masa dewasa (Erik Erikson, Psikolog asal Jerman, Berk, 2002).

Pengalaman sejak 2014 sebagai pengacara anak memberikan bantuan hukum pada beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak rentan usia 13 – 17 tahun di NTB baik di Pulau Sumbawa maupun Lombok. Bukan hal yang mudah, selain mempertimbangkan rasa duka mendalam yang dialami keluarga korban, juga dalam ruang sidang harus menyaksikan seorang anak yang sepatutnya bermain dan belajar dengan usia sebayanya namun terpaksa harus duduk dikursi pesakitan atas perbuatan keji menghilangkan nyawa orang lain (Pembunuhan/Pasal 338 KUHP, Pembunuhan Berencana/Pasal 340 KUHP, Penganiayan anak korban mengakibatkan mati/Pasal 80 ayat (3) UU 35/2014 Perlindungan Anak (PA), Persetubuhan anak korban mengakibatkan meninggal dunia/Pasal 81 ayat (5) UU 17/2016 PA).

Begitupun bagi anak, meski tidak begitu paham akibat dari perbuatannya namun kondisi psikologi tertekan yang mengakibatkan anak gelisah, gugup, rasa bersalah, stigma buruk dan kemampuan berkomunikasi menurun dan akibat tersebut akan berlanjut cukup lama bagi anak yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak seperti gangguan tidur, nafsu makan berkurang dan gangguan kejiwaan anak terlihat sering termenung.

Aktivis KontraS mengunjungi Kantor Bersama PBH Mangandar di Mataram, NTB

Latar Belakang Kehidupan dan Masa Depan Anak

Latar belakang anak yang terlibat kasus pembunuhan, yaitu kehilangan karakter orangtua (ibu dan ayah) lalu dibesarkan oleh kakek-neneknya atau salah satunya atau hanya dibesarkan oleh ibu atau ayahnya karena perceraian, sedangkan masalah ekonomi menjadi masalah urutan kesekian karena hal utama yang dibutuhkan anak adalah kasih sayang dan perhatian.

Situasi tersebut, membuat anak mudah kehilangan kenyamanan di rumah maka memilih lebih banyak bersosial bersama teman-temannya hingga berhari-hari tidak pulang rumah dan mengabaikan sekolahnya  maupun menjauhi lingkungan sosial dengan berdiam diri di kamarnya asyik dengan gadget untuk bermain game atau menonton konten yang berisi kekerasan tanpa pengawasan.

Hal ini berbahaya, mengingat anak adalah peniru yang hebat karena sebenarnya tidak ada yang salah dengan perilaku meniru karena pada dasarnya meniru adalah proses pembelajaran alami semua mahluk hidup (Rosdiana Setyaningrum Psikolog Anak dan Keluarga, parenting.co.id “Anak Belajar Lewat Meniru”).

Kondisi anak tersebut, tentu berdampak buruk terhadap anak, memilih bersosial anak akan lebih menghargai temanya tanpa mempertimbangkan benar atau salah perbuatan, sedangkan yang memilih tidak bersosial akan mudah meniru apa yang ditontonnya dan kurang empati terhadap lingkungan sekitar, sehingga keduanya berbuat tidak mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain namun lebih kepada mengutamakan keinginan diri atau kelompoknya terpenuhi, termasuk melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain.

Hal tersebut sesuai dengan Teori Perkembangan Psikososial oleh Erik Erikson bahwa pada usia remaja 12 – 18 tahun, anak mengalami kebingungan peran, keraguan terhadap identitas dan terlalu mengidolakan kelompok.

Pada masa ini pula anak menjadi rentan untuk terlibat kenakalan atau pelanggaran hukum. Secara sosiologis, penjelasan mengapa anak melakukan kenakalan atau pelanggaran hukum lebih menekankan pada peran lingkungan sosial tempat remaja dibesarkan, hubungan sosial dan proses belajar yang dialami anak (Kratcoski & Kratcoski, 1990).

Berbeda dengan orang dewasa, anak melakukan perbuatan yang melanggar hukum bukanlah kejahatan, namun merupakan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency) sebagaimana pendapat Erik Erikson di atas dan selaras dengan pendapat Fuad Hasan seorang Psikolog Pendidikan dan mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia bahwa “perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh  orang dewasa maka akan dikualifikasikan sebagai kejahatan” (Wagiati Soetodjo, 2006).

Strategi pengacara anak saat melakukan interview awal, sedikit celah diberikan untuk anak membenarkan perbuatannya jangan sampai ada upaya menutupi kejadian sebenarnya. Ini dilakukan agar anak menyadari akibat dari perbuatannya, baru kemudian mendengarkan pendapat/harapannya.

Jika pun, anak terlihat putus asa, maka satu hal yang perlu disampaikan kepada anak bahwa “masa depan masih panjang dan kesempatan memperbaiki diri masih terbuka lebar karena selama anak menjalani pidana tetap dapat mengikuti pendidikan formal dan pelatihan kerja serta taat menjalankan ibadah sesuai keyakinan, hal tersebut dilakukan minimal menghargai orang-orang yang pernah berbuat baik kepada anak dan bentuk permohonan maaf/penghargaan pada korban.”

Proses Persidangan: LITMAS, Bukan Surat Dakwaan Kedua

Proses peradilan anak pada tahap persidangan di pengadilan, berbeda dengan orang dewasa. Pada anak berdasarkan pada UU 11/2012 Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), setelah pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dilanjutkan pembacaan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS)  oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK BAPAS) Kementerian Hukum dan HAM (Pasal 1 angka 3 dan 24 jo Pasal 57 UU SPPA).

LITMAS wajib dipertimbangkan hakim, bila tidak maka putusan batal demi hukum (Pasal 60 ayat (3) dan (4) UU SPPA). Sepatutnya LITMAS lebih banyak menerangkan latar belakang kehidupan anak sampai anak melakukan tindak pindana, namun mengecewakan di beberapa kasus ditemukan LITMAS terkesan seperti ‘surat dakwaan kedua’ bagi anak karena PK BAPAS dalam persidangan lebih banyak membacakan kronologi tindak pidana dari pada latar belakang anak.

Pada tahapan pembuktian dengan agenda pemeriksaan saksi mahkota (pelaku lain) dan pemeriksaan anak di persidangan, banyak terungkap hal sepele buat orang dewasa terkait motif anak menghilangkan nyawa orang lain seperti karena hanya mengikuti perintah pelaku lain yang dianggap teman baiknya atau karena anak meniru apa yang sering ditontonya.

Selain alat bukti dari keterangan saksi dan pengakuan anak, juga yang patut juga menjadi pertimbangan pada tahap pembuktian, adalah keterangan ahli baik ahli kedokteran atau psikolog untuk menerangkan bagaimana kematian terhadap korban atau kondisi psikologi anak/anak saksi (Pasal 1 angka 28, Pasal 184 ayat (1) huruf b jo. Pasal 186 KUHAP dan Pasal 27 ayat (2) UU SPPA), hal ini perlu dipenuhi karena untuk membuktikan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan Anak lah yang bersalah melakukannya adalah dengan ketentuan  sistem pembuktian Negative Wettelijke yaitu keyakinan Hakim yang disertai dengan minimal dua alat bukti yang sah menurut undang-undang (Pasal 183 KUHAP). Bila tidak, maka Anak dinyatakan tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.

Yan Mangandar Putra (kemeja putih) saat diwawancarai awak media

Putusan Hakim, Mempertimbangkan Prinsip Kepentingan yang Terbaik bagi Anak

Selain LITMAS hal berbeda lainnya dalam persidangan anak yaitu hakim mempertimbangkan pendapat anak, keluarga/pendamping anak dan pekerja sosial profesional/tenaga kesejahteraan sosial guna mendapatkan gambaran ke depannya bagaimana ‘kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak’ setelah menjalani pidana (Pasal 2 huruf e dan f, Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 68 ayat (1) UU SPPA).

Dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional/dienaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan ‘kepentingan terbaik bagi anak’ dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18 UU SPPA).

Putusan hakim terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, berbeda dengan pelaku dewasa. Pada anak penjatuhan pidana dilarang melanggar harkat dan martabat anak (Pasal 71 ayat (4) UU SPPA), seberat apapun pidana pada ketentuan hukum materil yang dilanggar anak,  anak yang belum berusia 14 tahun maksimal dijatuhkan pidana tindakan (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan anak yang berumur lebih dari 14 tahun maksimal dipidana penjara 10 tahun (Pasal 81 ayat (6) UU SPPA) dan apabila hukum pidana materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja (Pasal 71 ayat (3) UU SPPA).

Anak tidak pernah menghendaki dirinya akan melakukan pembunuhan, karena dia juga merupakan korban dari lingkungan keluarga dan sosial yang buruk.

Dalam proses peradilan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara serta kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak seperti hak pendidikan dan kesehatan tetap dipenuhi oleh pemerintah melalui lembaga layanan yang ada sehingga anak setelah menjalani pidana, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat berubah dengan harapan anak meraih cita-citanya demi masa depan yang baik karena mengutamakan kepentingan terbaik bagi Anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Foto: ilustrasi