Peristiwa ini memicu pertikaian di media sosial karena Jokowi dan Prabowo menggunakan acara dan fasilitas pemerintah untuk pelantikan, dan sebagian besar postingan influencer hanya menyebutkan “kerendahan hati” dan “kepemimpinan hebat” dari Jokowi dan Prabowo.

Kesalahpahaman polarisasi

Berdasarkan pengamatan kami pasca pemilu 2019, terdapat kesalahpahaman mengenai polarisasi online karena media arus utama hanya berfokus pada analisis jaringan sosial terhadap data X (sebelumnya Twitter) yang menunjukkan dua kelompok besar percakapan. Namun meskipun percakapan X mengenai isu-isu politik terpolarisasi , hal ini tidak berarti masyarakat itu sendiri juga terpolarisasi.

Ketergantungan yang besar pada analisis jejaring sosial Twitter dalam diskusi publik sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk mengontrol narasi persatuan Indonesia dan obsesi untuk menginternalisasi ideologi negara Pancasila .

Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan pemerintah tentang Pancasila berdasarkan definisi dan penafsiran Pancasila sendiri harus diikuti oleh warga negara. Dalam kebijakan ini, bahkan gaya busana yang berbeda, seperti mengenakan jilbab panjang bagi perempuan atau menumbuhkan janggut bagi laki-laki Muslim, berpotensi dicap radikal.

Pada setiap siklus pemilu, terdapat peningkatan konsisten dalam ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok minoritas, yang seringkali dipicu oleh misinformasi dan disinformasi. Lonjakan sikap negatif ini dapat berkontribusi pada semakin dalamnya polarisasi , meningkatnya diskriminasi, dan potensi penganiayaan terhadap komunitas rentan, termasuk kelompok agama dan gender minoritas.

Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan berkolaborasi dengan universitas dalam merancang kerangka pemantauan untuk menganalisis dan menyajikan data secara sistematis pada platform khusus.

Temuan dari upaya pemantauan ini kemudian dapat menjadi peta jalan bagi media untuk menghasilkan konten jurnalistik yang memperjuangkan keberagaman dan mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas. Data ini dapat membantu mencegah penguatan narasi yang melanggengkan stigma dan diskriminasi, khususnya yang disebarkan oleh faksi politik tertentu.

Dengan menggunakan wawasan yang diperoleh dari pemantauan, media massa dapat mengidentifikasi tren penggunaan ujaran kebencian dan menahan diri untuk tidak memperkuat pesan yang memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok minoritas.

Pendekatan pemantauan ini dapat menjadi sumber daya yang berharga tidak hanya bagi media tetapi juga bagi badan pemantau pemilu, dewan pers, platform media sosial, dan pembela hak-hak minoritas.

Dengan cara ini, entitas-entitas ini dapat secara proaktif mengantisipasi dan mengatasi ujaran kebencian, serta memitigasi dampaknya terhadap polarisasi sosial.


Ika Idris adalah profesor madya di program Kebijakan & Manajemen Publik, Monash University Indonesia. Dia ikut menulis “Demokrasi yang Salah Arah di Asia Tenggara: Propaganda Digital di Malaysia dan Indonesia”.

Derry Wijaya adalah profesor madya di Program Ilmu Data, Monash University Indonesia. Dia adalah salah satu direktur Monash Data & Democracy Research Hub.

Prasetia Pratama adalah peneliti di Monash Data & Democracy Research Hub.

Musa Wijanarko adalah ilmuwan data di Monash Data & Democracy Research Hub.

Awalnya diterbitkan di bawah Creative Commons oleh 360info ™.