Alan Ananami (Kader HMI)

KORANNTB.com – Selalu kita ucapkan bahwa mahasiswa merupakan kaum pemikir dan penggerak perubahan. Asumsi dasar itu sudah tertanam sejak mahasiswa banyak berperan memberikan kontribusi bagi bangsa dan negaranya. Seringkali gaung suara perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan penguasa kepada rakyat kecil asalnya dari teriakan kritis dan konstruktif dari mahasiswa. Sebab mereka memiliki sumpahnya sendiri dan itu sakral. Sebab mereka juga adalah kaum terpelajar yang jika meminjam bahasa Pramodeya, bahwa kaum terpelajar itu sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatannya.

Mahasiswa Indonesia tentu mempunyai cerita perjuangannya sendiri. Catatan-catatan aktivis mulai dari zaman orde lama hingga orde baru masih bisa kita nikmati narasinya. Banyak buku-buku yang mengisahkan tentang bagaimana pembangkangan terhadap otoritarianisme sebuah rezim lahir dari karya para aktivis mahasiswa.

Tirani kekuasaan tidak membuat mereka putus asa untuk melawan, berjuang demi umat dan bangsa. Meski diuber, ditahan, dan dibayangi oleh ancaman rezim tak membuat semangat mereka surut dan terhenti. Dan faktanya sekarang kita tahu bahwa dulu banyak berguguran bunga-bunga yang sengaja dipatahkan kemudian dicuri. Keberadaannya saat ini tidak ada yang tahu. Agaknya peristiwa tersebut adalah luka sejarah yang mendalam untuk kita semua.

Ada pertanyaan mendasar yang perlu sama-sama kita ajukan. Bagaimana dengan keadaan mahasiswa pada era post-reformasi saat ini? Masihkah ia lantang berdebat argumen dengan dosen-dosennya di kelas? Masihkah bergema suaranya untuk membela kepentingan dan hak kaum pinggiran karena dosa kekuasaan? Masihkah mahasiswa dewasa ini merawat tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis sebagai representasi seorang cendikia? Jawabannya ada pada diri dan lingkunganmu masing-masing. Tapi mungkin kita berani mengatakan bahwa sesungguhnya budaya kritisisme mahasiswa sudah mulai terreduksi akibat kondisi yang melingkarinya.

Bisa kita untuk berpersepsi dan memiliki pandangan bahwa salah satu lingkungan yang sangat mempengaruhi karakter mahasiswa adalah iklim di kampus ia kuliah. Hampir setiap hari ke kampus untuk menerima materi kuliah. Petantang-petenteng tas tanda siap menerima pelajaran dari bapak/ibu dosen. Mahasiswa mengangguk-ngangguk ketika mendengar penjelasan dosennya, entah apa dia paham atau sekedar pura-pura paham. Seakan-akan perkataan dosen sudah mutlak, final, dan kadang kita beranggapan haram hukumnya untuk dibantah.

Apakah dengan budaya kampus yang seperti itu kepribadian seorang mahasiswa tumbuh dan terbentuk dengan baik? Bukankah justru keadaan tersebut akan menumbuhkan feodalisme pada tubuh kampus? Mahasiswa hanya ditekankan fokus rajin kuliah, mengerjakan tugas, menulis laporan dengan iming-iming nilai A. Kalau semua itu terkendala, konsekuensinya ialah nilai indeks prestasi akan rendah. Logikanya adalah jika kamu jadi mahasiswa taat dan tertib, peluang mendapatkan nilai tinggi amat lebar. Tapi jika sebaliknya, kamu jadi mahasiswa yang suka protes, kritik kebijakan kampus, atau bahasa lainnya sering ikut demonstrasi maka ancaman besar yang akan kamu hadapi dari pihak birokrat kampus.

Kalau realitas di kampus memang sudah jelas membeberkannya, agaknya orientasi pendidikan bangsa ini masih bertekuk-lutut pada sisi nilai kuantitas atau yang bersifat angka. Sehingga mengabaikan sisi kualitas seorang pelajar. Kampus yang seharusnya menjadi rumah idealismenya mahasiswa seolah-seolah telah sirna. Kampus yang seharusnya menjadi kawah candradimuka seakan-akan meredup karena perilaku kita sendiri. Ada benarnya kata Bendict Anderson, mahasiswa sekarang didorong untuk berpikir bahwa masa-masa kuliah mereka semata-mata adalah persiapan masuk ke pasar tenaga kerja.

Menjadi suatu kewajaran saat ini bilamana mahasiswa menurun akan daya nyala pemikiran-pemikaran produktifnya. Apalagi ada aturan dari atas yang terkesan menghambat mahasiswa untuk aktif berorganisasi terutama berkecimpung dalam organisasi eksternal kampus. Lihat saja! Adalah barang langka kala kita ke kampus, khususnya di ruang kelas, tenaga pengajar menyelipkan pesan-pesan yang mengandung ketauhidan dan nasionalisme kepada mahasiswa. Padahal itu amat penting, sehingga peserta didik dapat mengenal dirinya sendiri dan juga jati diri bangsanya.

Pesan ketauhidan yang dimaksud bukan menyentuh pada ranah kamu dituntut agar rajin sholat fardhu, maupun sholat sunnah atau yang bersangkutan dengan ibadah ritual. Melainkan ketauhidan yang berkaitan dengan ibadah sosial, di mana dosen-dosen kita menyuguhkan sebuah pelajaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anak didiknya. Bagaimana kamu menjadi mahasiswa yang berpedoman pada ilmu amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sederhananya adalah kamu diajarkan tentang konsepsi nilai menegakkan kebenaran dan bagaimana melawan segala bentuk kemungkaran.

Arti dari pesan dan pelajaran nasionalisme bukan menekan kamu untuk menghafal nama-nama pahlawan, lagu-lagu nasional, menghafal UUD 1945, dan hafalan-hafalan lainnya. Maksud dari wawasan nasionalisme yang penting diselipkan pada ruang akademik adalah saat dosen dapat menyuntik kesadaran mahasiswa untuk senantiasa mencintai tanah-airnya sendiri. Diajarkan tentang optimisme sebagai bangsa kita harus berdikari. Tidak bermental kolonial pun bewatak budak. Sehingga terpupuklah rasa dan jiwa memihaki bangsa sendiri pada para pelajar.

Namun, sayang beribu sayang, dialog atau kuliah ketauhidan dan nasionalisme telah hilang nan pergi jauh dari kampus. Kampus ternyata hanya menyediakan kita ipk dan ijazah. Tidak ada tanggung jawab kampus mau kamu relegius atau tidak. Bukan kewajiban kampus mau kamu nasionalis atau tidak. Mahasiswa bar-bar sekali pun itu mungkin juga bukan urusan kampus. Kampus hanya mau berurusan dengan percepatan kelulusan mahasiswa di perguruan tinggi itu sendiri. Jadi tidak ada sangkut-paut kampus tentang seperti apa karakter kepribadianmu.

Ketauhidan dan nasionalisme adalah icon yang hilang di dunia perkuliahan kita. Namun, keduanya bisa kita cari sendiri di tempat dan ruang lain. Ketauhidan dan nasionalisme bisa kita temukan dari lingkaran-lingkaran diskusi mahasiswa. Akan ada pada meja-meja warung kopi. Juga ada di langgar dan masjid-masjid. Akan kita dapatkan dari sudut-sudut malam di pinggir jejalanan. Akan kita lihat dia pada setiap lembaran buku-buku. Di situlah ruang ide dan gagasan mahasiswa di era post-reformasi. Nalar tentu akan terus menyala! Goenawan Mohamad mengingatkan: “Sekolah bukan penentu gagal tidaknya seseorang. Ia tidak berhak menjadi perumus masa depan”.