“Wisata halal sudah pasti tidak akan membunuh wisata konvensional yang sudah ada selama ini. Justru dengan konsep itu, pengelola destinasi dapat memberikan pilihan kepada wisatawan untuk memilih layanan berwisata sesuai kebutuhan,” ujarnya.

“Misalnya jika wisatawan menghendaki layanan makanan-minuman halal ataupun non halal, mereka bisa memilih hotel dan restoran yang menyajikan jenis makanan tersebut,” kata dia.

Dia meminta agar Cak Imin tidak terjebak pemahaman sempit dan menyampaikan hal-hal yang melenceng dari konsep wisata halal  yang sebenarnya.

“Contoh layanan halal itu antara lain, penyediaan perlengkapan salat, memberikan penunjuk arah kiblat di kamar hotel, restoran yang menyajikan makanan halal, maupun kemudahan mengakses tempat ibadah,” katanya.

Taufan menegaskan wisata halal merupakan layanan pilihan untuk wisatawan dan penerapannya tidak dapat dipaksakan kepada wisatawan.

“Sekali lagi, wisata halal bukanlah islamisasi destinasi dan merupakan layanan pilihan. Penerapannya tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Terlebih dalam konteks pariwisata Indonesia yang juga terbuka melayani aneka ragam kebutuhan wisatawan mancanegara, tentunya dalam batas-batas yang tidak melanggar hukum,” ujar Taufan.

Dalam forum yang sama, Cak Imin juga menyebut bahwa wisata halal Indonesia kalah dari Malaysia. Pernyataan tersebut dibantah Taufan Rahmadi.

“Pernyataan ini jelas tidak benar. Pada era pemerintahan Jokowi, sektor pariwisata Indonesia telah berhasil meraih prestasi dunia terkait wisata halal, dengan mengalahkan negara-negara besar yang selama ini dikenal sebagai legenda wisata halal. Termasuk Malaysia,” ujarnya.