Fakta tersebut perlu diperhatikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTB maupun dinas pendidikan kabupaten dan kota. Fakta ini jangan disanggah. Artinya, bahwa siswa maupun guru di NTB memiliki literasi yang rendah. Mereka malas. Mereka hanya mau disuap dan mempelajari apa yang ada dalam buku-buku yang disusun oleh orang-orang di Pulau Jawa. Mereka malas membaca dan mencari secara mandiri. Hal inilah yang membuat kondisi ketidakmampuan untuk bersaing itu mendarah daging pada sekolah-sekolah di NTB. Akhirnya, indeks literasi yang rendah ini menjadi alibi sekaligus penyebab rendahnya nilai UTBK itu. Dinas Pendidikan harus serius. Ini perlu diperhatikan.

Ketiga, evaluasi pukul rata. Terkait ini, 4 orang guru saya ajak berdiskusi. Mereka sebenarnya kritis, tapi tak berani bicara dan menulis dengan terbuka. Nanti bisa ditegur atasan, katanya. Atasan itu, ya, kepala sekolah dan kepala dinas. Kepala dinas dan kepala dinas tentu takut dengan bupati dan walikota. Mereka mengamini bahwa di NTB itu menggunakan evaluasi pukul rata. Indikator untuk mengevaluasi kualitas sekolah di pusat kota, dipakai untuk mengevaluasi di sekolah di pinggiran. It doesn’t make sense. Untuk melihat dan mengevaluasi kualitas sekolah di bagian selatan Bima dan Dompu, jangan menggunakan indikator evaluasi yang dipakai untuk sekolah-sekolah di Kota Mataram.

Keempat, Dinas Pendidikan tidak memiliki program yang terarah untuk meningkatkan kualitas sekolah. Seorang pegawai dinas pendidikan di sebuah kabupaten mengakui bahwa betapa malasnya dinas pendidikan, tempatnya bekerja. Program yang dipakai tahun ini, sebagiannya adalah program tahun lalu yang tinggal diganti tahun dan tanggalnya saja. Dia sebenarnya jengkel dan kesal juga dengan kebiasaan itu. Tapi dia tak punya kewenangan untuk melawan kebobrokan yang terjadi.

Teman-teman di NTB ada yang berani buat tulisan seperti ini? Saya yakin tidak ada yang berani. Mengapa? Ya, karena birokrasi dan masyarakat yang feodal itu. Belum lagi ada tim-tim sukses kepala daerah yang punya mental menjilat. Mereka akan memonitor siapa saja masyarakat yang berani kritis, lalu diboikot dan dilaporkan ke kepala daerah untuk diberi pelajaran. Maka semua orang takut untuk mengkritik. Cemenlah mentalnya. Makin mundurlah perkembangan daerah. Salah satu faktor yang menghambat perkembangan dan kemajuan daerah adalah sikap menjilat orang-orang tertentu pada kepala daerah. Sehingga kepala daerah, bupati, walikota, dan gubernur merasa tidak punya celah, kekurangan, dan kelemahan dalam memimpin daerah.

Beberapa orang mengecap saya membenci daerah asal dikarenakan banyak mengkritik. Tapi mereka yang cerdas akan menelaah esensi setiap kritik saya dengan baik. Selama ini ‘kan kita tidak berani berkata benar karena takut kehilangan periuk. Saya tidak begitu. Salah satu cara membangun daerah asal adalah dengan mengkritiknya, dengan harapan ada perbaikan.**