KORANNTB.com – Banyak media arus utama di Indonesia tidak mencantumkan gelar akademik narasumbernya. Jika membaca berita-berita sejumlah media nasional, tidak ada narasumber yang namanya ditulis diikuti oleh gelar akademik mereka.

Memang tidak ada aturan khusus yang melarang menulis gelar akademik narasumber. Namun sebagian besar pers di Indonesia memandang tidak perlu untuk menambahkan gelar akademik narasumber.

Alasan yang menjadi patakon pers adalah kesataraan pada semua narasumber. Baik narasumber yang memiliki banyak gelar maupun narasumber yang tidak berlatar belakang pendidikan tinggi di mata pers adalah sama. Sama-sama penting untuk sebuah berita.

Selain itu, tidak ada kewajiban menaruh gelar akademik seseorang pada berita. Bahkan tidak hanya berita, pada data administrasi kependudukan (Adminduk) juga tidak ada keharusan untuk mencantumkan gelar.

Pers bukan tidak menghormati jerih payah narasumber mendapatkan gelar, namun memang pedoman menulis sebuah berita adalah menghindari banyak kata-kata yang mubazir atau mempersingkat setiap bahasa untuk menjadi sebuah bahasa media.

Pers tidak ingin terjebak dalam persoalan gelar akademis. Mewawancarai petani tamatan sekolah dasar sama pentingnya dengan mewawancarai seorang sarjana yang memiliki gelar akademik layaknya kereta api. Semua sama di mata media dan pers harus menghormati. Selevel presiden pun hanya ditulis nama tanpa gelar.

Jika praktik menaruh gelar akademik narasumber pada setiap berita, dikhawatirkan akan terjebak pada keekslusifan narasumber. Bisa jadi narasumber yang berlatar belakang pendidikan rendah enggan mau diwawancarai karena merasa narasumber hanya orang yang memiliki segudang gelar. Padahal semua narasumber sama pentingnya bahkan pada berita-berita tertentu narasumber berlatar pendidikan rendah lebih penting dibanding yang memiliki sederet gelar akademis.

Tidak hanya gelar akademik, gelar haji pun tidak ditulis oleh media arus utama. Alasannya sama seperti di atas. Bahkan menulis gelar haji tidak wajib. Bahkan banyak ulama berbeda pandangan tentang hukum menulis gelar haji. Ada yang berpandangan boleh saja ditulis dan ada yang berpendapat haram karena berpotensi mengundang riya atau kesombongan.

Kapan Gelar Harus Ditulis?

Gelar akademis dapat ditulis oleh pers bahkan pers arus utama ketika memang berita berkaitan dengan akademik narasumber tersebut. Misalnya berita terkait pelantikan guru besar sebuah universitas dapat dicantumkan gelar di depan nama, seperti; profesor atau doktor. Itu untuk memperjelas pembaca bahwa yang berbicara adalah seorang profesor atau doktor di sebuah kampus.

Begitu juga dengan gelar kesehatan seperti ‘dr’ di depan nama. Itu untuk menjelaskan kepada pembaca bahwa yang berbicara adalah seorang dokter.

Selain itu pada berita-berita yang berhubungan tentang kepolisian dan militer, pangkat narasumber penting untuk ditulis namun bukan untuk gelar akademik mereka. Seperti Irjen, Kombes Pol, Kompol, AKBP, AKP dan lainnya.

Penulisan gelar tersebut hanya pada kalimat pertama. Sesudah itu media tetap akan menulis nama tanpa mencantumkan gelar atau pangkat mereka di paragraf atau kalimat lainnya.

Kebijakan Redaksi

Terlepas dari semua itu, meskipun media arus utama atau media nasional “haram” menulis gelar akademik seseorang, namun itu semua tergantung dari kebijakan redaksi masing-masing.

Masih banyak media lokal atau koran lokal yang masih tetap menulis gelar lengkap seseorang narasumber. Itu semua kembali kepada redaksi masing-masing karena belum ada aturan baku yang mengatur penggunaan gelar di berita.

Penulis: Satria Zulfikar SH (Wartawan)